Langsung ke konten utama

Ketidakmerataan (Inequality)

Sudah bukan hal yang mengherankan lagi kalau Indonesia mengalami ketidakmerataan perekonomian antara Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia, terutama antara Jawa dengan Luar Jawa. Ketidakmerataan ini sepertinya sudah dianggap wajar oleh setiap rakyat indonesia, dan bahkan juga oleh mereka yang memiliki legitimasi untuk mengatur negara ini. Padahal ketidakmerataan ekonomi ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan hal-hal yang lain, diantaranya adalah ketidakmerataan penduduk, ketidakmerataan pengetahuan dan ketidakmerataan infrastruktur. Padahal sumberdaya alam yang dimiliki Kawasan Timur Indonesia tidak kalah dengan sumberdaya alam yang dimiliki Kawasan Barat Indonesia, dan sama-sama dieksploitasi. Namun hasil eksploitasi tersebut lebih banyak diserap oleh pusat dengan tujuan untuk disebarkan secara merata pada daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam. Namun bagaimanapun pusat merencanakan dan melaksanakan program pemerataan tersebut, tetap saja terjadi ketidakmerataan ekonomi.
Ketidakmerataan ekonomi ini sejak zaman pemerintahan Soekarno sampai sekarang menimbulkan berbagai masalah, dimana yang paling parah adalah masalah desentralisasi. Otonomi daerah bahkan otonomi khusus masih belum bisa menyelesaikan masalah ini. Oleh karena itu beberapa daerah yang memiliki sumberdaya meminta agar persentase pembagian jatah eksploitasi sumberdaya alam untuk mereka ditambah, dengan konsekuensi jatah pusat berkurang. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan di daerah mereka.
Namun dalam beberapa kasus, pusat tetap bersikukuh untuk memberikan persentase yang lebih sedikit bagi daerah atas eksploitasi sumberdaya alam mereka. Ada dua alasan yang biasanya digunakan pusat, yakni yang pertama adalah bahwa tidak setiap daerah di Indonesia ini memiliki sumberdaya alam, sehingga perlu pemerataan hasil pemanfaatan sumberdaya alam terhadap daerah-daerah tersebut. Yang kedua adalah bahwa pusat masih belum dapat percaya secara penuh terhadap daerah dalam pengelolaan keuangan karena pusat berpandangan bahwa daerah cenderung untuk korup, sehingga hasil pemanfaatan sumberdaya alam hanya dirasakan oleh segelintir orang dan pejabat saja.
Dua alasan yang sering diajukan pusat tersebut memang masuk akal. Hasil eksploitasi tersebut digunakan oleh pemerintah diantaranya adalah untuk pembangunan infrastruktur. Masalahnya kemudian adalah pembangunan infrastruktur yang didukung oleh pemerintah lebih banyak kepada daerah-daerah yang memiliki industri manufaktur, dimana sebagian besar industri ini terkonsentrasi di Jawa dan sebagian Sumatera. Kemudian apabila ada investor yang baru ingin menanamkan modalnya dalam industri manufaktur juga akan memilih Jawa karena infrastrukturnya mendukung usaha mereka. Akhirnya industri manufaktur dan pembangunan infrastruktur ini saling mempengaruhi satu sama lain karena keduanya lebih melihat keuntungan atau manfaat praktis.
Padahal seharusnya pembangunan infrastruktur oleh pusat di daerah juga harus merata, agar dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di daerah yang baru di luar Jawa. Apabila daerah di luar Jawa tersebut dapat menarik infestor untuk menanamkan modalnya, misalnya dalam bentuk industri manufaktur, maka daerah itu akan menarik tenaga kerja dari Jawa. Dengan demikian akan terjadi pemerataan penduduk. Namun perusahaan juga tidak mau rugi. Perusahaan memerlukan efisiensi dalam menjalankan usahanya. Salah satu cara yang dibentuk untuk melakukan efisiensi adalah dengan membentuk aglomerasi atau penempatan industri-industri tertentu (clustering) pada satu daerah tertentu untuk melakukan efisiensi biaya produksi. Tampaknya aglomerasi yang dikembangkan atau yang berkembang di Indonesia adalah aglomerasi berbasis pelayanan (service), dimana perusahaan-perusahaan berkumpul di suatu tempat tertentu agar dapat mendukung pelayanan-pelayanan tertentu, misalnya sebagian besar perusahaan terpusat di Jawa karena dekat dengan Jakarta, sehingga pengurusan izin usaha mereka akan lebih mudah. Aglomerasi ini mungkin terjadi secara alamiah dan tanpa direncanakan sebelumnya. Pusat mungkin lebih memilih untuk menjalankan segalanya secara alamiah. Kemana pasar berjalan, maka kesitulah pembangunan infrastruktur. Tidak ada intervensi pusat yang tampak dalam rangka untuk pemerataan.
Lalu bagaimana jika daerah yang memiliki sumberdaya alam tadi kehabisan sumberdaya alamnya? Bila hal tersebut terjadi disaat pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan mereka tetap tidak mengalami kemajuan, maka daerah tersebut bisa jadi akan kolaps. Lalu bagaimana bila pusat atau Jawa kolaps? Maka daerah-daerah yang lain kemungkinan juga akan kolaps karena mereka sangat tergantung pada pusat. Bila ketidakmerataan ini tetap dipandang sebelah mata, maka suatu saat bisa jadi Indonesia memiliki nasib yang sama seperti Yugoslavia atau USSR.





Indonesia is experiencing economic disparities between the Western Area of Indonesia and Eastern Indonesia, mainly between Java and outside Java. Inequality seems to have been deemed reasonable by all the people of Indonesia, and even by those who have the legitimacy to manage this country. However, this economic inequality leads to other inequalities, such as inequality of population, science and infrastructure. Though the quantity of natural resources in eastern Indonesia was similar to the natural resources owned by the Western Area of Indonesia, and are equally exploited. But the results of exploitation are more absorbed by the center to be distributed evenly in areas that have no natural resources. However the central plan and perform the equalization program, economic inequality still persists.
This economic inequality since the days of Sukarno's government until now cause various problems, where the most severe is the problem of decentralization. Regional autonomy, even the special autonomy still can not solve this problem. Therefore, some local governments, which have natural resources, requested additional quota share percentage of the exploitation, with consequent reduction in quota for the central government. Local governments do this in order to enhance infrastructure development, education and health.
However, in some cases, the central government remains determined to give lesser percentage. There are two reasons usually put forward by the central government, the first is that not every region in Indonesia has natural resources, so that needed equitable distribution of natural resource products to areas that do not have. The second is that central government still cannot fully trust the local governments in managing finances, because the central government believes that local government tends to corrupt, so that the use of natural resources is felt only by a few of people and officials only.

The results of the exploitation of natural resources are used by the central government, including for infrastructure development. The problem then is that infrastructure development, which is supported by the central government, more in areas that have a manufacturing industry, which are mostly concentrated in Java and parts of Sumatra. Therefore, when new investors want to invest their capital in manufacturing industry, then they will choose Java because its infrastructure supports their business. Finally, manufacturing and infrastructure development are mutually affecting one another because they see the more practical advantages and benefits.

The development of infrastructure by the central government should also be equitable, in order to attract investors to invest in new areas outside Java. If the regions outside of Java can be interesting investor to invest their money, for example in the form of manufacturing industry, the area would attract labor from Java. Thus the distribution of population will occur. But the company also did not want to lose. Companies need efficiency in business. One form of efficiency is formed the agglomeration or the placement of certain industries (clustering) on one particular area to make production cost efficiency. It seems that agglomeration is developed or developing in Indonesia is based service (service), where companies come together in a certain place in order to support certain services, for example, most companies focused on Java because it is close to Jakarta, so that their business permits will be easier. This agglomeration may occur naturally and without any premeditated. The central government might prefer to run everything in nature. Where the market is running, then that's where the infrastructure is developed. There is no visible central intervention in order for equitable distribution.


So
what if the local government had run out of its natural resources? If it happens when infrastructure, education and health has not improved, then the area could be going to collapse. Then what if the central government or Java collapsed? Then it is likely that other regions will also collapse, as they are very dependent on central government and Java. If this inequality continues to be underestimated, then one day Indonesia may have the same fate as Yugoslavia or the USSR.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beras Mukjizat

Pada tahun 1960, sebuah beras mukjizat jenis baru yang dikenal dengan nama IR-8 dikembangkan di International Rice Research Institute di Filipina. Dengan siklus tumbuhnya yang jauh lebih singkat, produk baru ini membawa perubahan yang dramatis dalam dunia pertanian. Di negara-negara seperti Vietnam, mereka mampu menyelesaikan dua masa tanam padi dalam satu tahun, dimana secara tradisional hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun. Inovasi memukau seperti ini dalam bidang sains agrikultur memungkinkan negara-negara yang miskin secara turun-temurun, terutama di Asia, untuk memenuhi pangan mereka sendiri dan memenuhi kebutuhan penduduk mereka yang terus bertumbuh. Revolusi Hijau tidak terjadi tanpa disertai kontroversi, salah satunya karena melibatkan pestisida kimiawi. Pada tahun 1940an, insektisida DDT (Dichloro-diphenyl-trichloroethane) diperkenalkan sebagai salah satu cara untuk mengendalikan varietas penyakit seperti malaria yang dibawa oleh nyamuk, dengan penanganan tu

Manusia Ke-7 Miliyar

Pada tanggal 31 Oktober 2011 seorang bayi perempuan yang lahir di Manila, ibukota Filipina, dipilih oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk secara simbolis mewakili manusia ke-7 miliyar di muka bumi. Untuk menandai tonggak populasi global ini, tanggal 31 Oktober dinamakan Hari Tujuh Miliyar, namun dengan adanya laporan satu miliyar orang yang mengalami kelaparan pada saat itu, debat pun terjadi seputar apakah bumi mampu mendukung kehidupan begitu banyak manusia. Sebelum abad ke-17, populasi dunia tumbuh begitu lambat, namun kemudian melesat begitu pesat setelah tahun 1850. Hal ini sebagian diakibatkan oleh pengurangan jumlah anak-anak yang mati di usia bayi, dan juga menurunnya angka kematian secara keseluruhan dimana teknologi pertanian baru meningkatkan persediaan makanan dan menurunkan risiko kelaparan. Pertumbuhan industrialisasi yang begitu pesat dan kemajuan di bidang obat-obatan dan kedokteran meningkatkan kesehatan and standar hidup masyarakat. Memasuki tahun 1927, an

Lombok Tempo Dulu

Zaman Majapahit Tidak ada catatan yang jelas sejak kapan Pulau Lombok dihuni oleh manusia. Selain itu bukti-bukti peradaban zaman purba di Pulau Lombok sangat minim. Namun pada abad ke 14, terdapat bukti bahwa Lombok telah memiliki hubungan dengan Jawa. Hal ini tercantum dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 M oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab yang berbahasa jawa kuno itu, diceritakan secara singkat tentang Lombok Mirah dan Sasak Adi . Dalam pupuh ke 14 tertulis sebagai berikut: “Muwah tang I Gurunsanusa ri Lombok Mirah lawantikang Sasak Adi nikalu kebayian kabeh Muwah tanah I Bantayan Pramuka Bantayan len Luwuk teken Udamakatrayadhi nikayang sanusa pupul.” Kerajaan Selaparang, yang terletak di Lombok Timur, kemungkinan adalah salah satu kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Masyarakat yang ada di daerah Bayan dan Sembalun, yang terletak di utara Lombok, percaya bahwa mereka adalah keturunan orang Majapahit. Sebagian masyarakat Sas