Pada tahun 1960, sebuah beras mukjizat jenis baru yang dikenal dengan nama
IR-8 dikembangkan di
International Rice Research Institute di Filipina. Dengan siklus tumbuhnya yang jauh lebih singkat, produk baru ini membawa perubahan yang dramatis dalam dunia pertanian. Di negara-negara seperti Vietnam, mereka mampu menyelesaikan dua masa tanam padi dalam satu tahun, dimana secara tradisional hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun. Inovasi memukau seperti ini dalam bidang sains agrikultur memungkinkan negara-negara yang miskin secara turun-temurun, terutama di Asia, untuk memenuhi pangan mereka sendiri dan memenuhi kebutuhan penduduk mereka yang terus bertumbuh.
Revolusi Hijau tidak terjadi tanpa disertai kontroversi, salah satunya karena melibatkan pestisida kimiawi. Pada tahun 1940an, insektisida DDT (Dichloro-diphenyl-trichloroethane) diperkenalkan sebagai salah satu cara untuk mengendalikan varietas penyakit seperti malaria yang dibawa oleh nyamuk, dengan penanganan tunggal. Namun tahun 1962, ahli biologi Amerika
Rache Carson mengemukakan bahaya DDT dalam bukunya yang sangat menghebohkan berjudul
Silent Spring, dengan mengklaim bahwa DDT dapat menyebabkan kanker dan juga berdampak buruk terhadap lingkungan.
Silent Spring berujung pada pelarangan DDT secara nasional di AS dan meningkatkan kesadaran yang memicu terbentuknya
Enviromental Protection Agency (EPA), sebuah badan independe untuk melindungi lingkungan. Revolusi Hijau juga menghadapi tantangan besar dari banyak negara di Afrika, dimana mereka kekurangan fasilitas irigasi, curah hujan yang kurang, harga pupuk yang tinggi dan tidak adanya fasilitas kredit untuk membeli bibit varietas baru.
Komentar
Posting Komentar