Langsung ke konten utama

Suluh Indonesia Muda, 1926


Sebagai Aria Bimaputera, yang lahirnya dalam jaman perjuangan, maka INDONESIA-MUDA ini melihat cahaya hari-hari pertama dalam jaman dimana rakyat-rakyat Asia, sedang berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib ekononominya, tak senang dengan nasib politiknya, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya.

Jaman "senang dengan apa adanya", sudahlah lalu. Jaman baru: jaman muda, sudahlah datang sebagai fajar yang terang cuaca. Jaman teori kaum kuno, yang mengatakan, bahwa "siapa yang ada di bawah, harus terima senang, yang ia anggap cukup harga duduk dalam perbendaharaan sejarah, yang barang kemas-kemasnya (harta miliknya) berguna untuk memelihara siapa yang sedang berdiri-dalam-hidup (berkuasa)", kini sudahlah tak mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia itu. Pun makin lama makin tipislah kepercayaan rakyat-rakyat itu, bahwa rakyat-rakyat yang memperbudakkannya itu, adalah sebagai "voogd" yang kelak kemudian hari akan "ontvoogden" mereka; makin lama makin tipislah kepercayaannya, bahwa rakyat-rakyat yang memperbudakkannya itu sebagai "saudara tua", yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah "dewasa", "akil balig", atau "masak".

Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyhuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri yang menjalankan kolonisasi itu terlampau sesak oleh banyaknya penduduk
sebagaimana diajarkan oleh Gustav Klemm akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki.

"Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal hidup dalam tanah airnya sendiri," begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat-rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain! Itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat itu menjajah negeri-negeri, dimana mereka bisa mendapat rezeki. Itulah pula yang membikin "ontvoogding"nya negeri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang menjajahnya itu sebagai suatu barang yang sukar dipercayai. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya!!!

Begitulah, bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat Eropah memperbudak negeri-negeri Asia. Berwindu-windu, rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa Eropah Baratlah yang bukan main tambah kekayaannya.

Begitulah tragisnya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan akan tragedi inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu; sebab, walaupun lahirnya sudah kalah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah kekal. Roh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan akan tragedi inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: NASIONALISTIS, ISLAMISTIS dan MARXISTIS-lah adanya.

Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain. Membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya. Itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya.

Akan hasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaya upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tadi itu! Sebab kita yakin, bahwa persatuanlah yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia Merdeka!

Entahlah bagaimana tercapainya persatuan itu; entah pula bagaimana rupanya persatuan itu; akan tetapi tetaplah, bahwa kapal yang membawa kita ke Indonesia Merdeka itu, ialah Kapal Persatuan adanya! Mahatma, jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan Kapal Persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak kemudian hari mustilah datang saatnya, Sang Mahatma itu berdiri di tengah kita!

Itulah sebabnya kita dengan besar hati mempelajari dan ikut meratakan jalan yang menuju persatuan itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek ini.


Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme!
Inilah asas-asas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah paham-paham yang menjadi rohnya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rohnya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia kita ini.

Partai Budi Utomo almarhum, Nationaal Indische Partij yang kini masih "hidup", Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain... itu masing-masing mempunyai roh Nasionalisme, roh Islamisme, atau roh Marxisme adanya. Dapatkah roh-roh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Roh yang besar, Roh Persatuan? Roh Persatuan, yang akan membawa kita ke lapangan kebesaran?

Dapatkah dalam tanah jajahan, pergerakan Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan Islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang bersifat perjuangan internasional?

Dapatkah Islamisme itu
ialah suatu agama dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan Nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan materialismenya Marxisme yang mengajar perbendaan?

Akan berhasilkah usaha kita merapatkan Budi Utomo yang begitu sabar halus (gematigd), dengan Partai Komunis Indonesia yang begitu keras sepaknya, begitu radicaal militant?



Nasionalisme! Kebangsaan!

Dalam tahun 1882, Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang paham "bangsa" itu. Bangsa, menurut pujangga ini, adalah suatu nyawa, suatu asas akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu dulunya harus bersama-sama menjalani suatu riwayat (sejarah); kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan "bangsa" itu.

Dari tempo-tempo selanjutnya, penulis-penulis lain, sebagaimana Karl Kautsky dan Karl Radek,
maka teristimewa Otto Bauer-lah yang mempelajari soal "bangsa" itu.

"Bangsa adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu," begitulah katanya.

Nasionalisme ialah suatu itikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa mereka adalah satu golongan, satu "bangsa"! Bagaimana pun juga bunyi keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan di atas tadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu kepercayaan diri, rasa perlu mempertahankan diri dalam perjuangan menempuh keadaan-keadaan yang mau mengalahkan kita.

Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada Budi Utomo dalam usahanya mencari Jawa Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner nasionalis dalam perjuangannya mencari Hindia Besar atau Indonesia Merdeka adanya.

Bagaimanakah rasa nasionalisme terjangnya? Budi Utomo yang begitu evolusioner, dan Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, karena rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan peringatan Al Carthill, bahwa "yang mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu biasanya bagian-bagian yang terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali." O
leh karena kepercayaan diri itu begitu gampang menjadi kesombongan bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan ras, walaupun paham ras (rasisme) itu setinggi langit bedanya dengan paham bangsa, oleh karena ras adalah suatu paham biologis, sedangkan nationaliteit adalah suatu paham sosiologis (ilmu pergaulan hidup). Apakah Nasionalisme itu dalam perjuangan jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam-macam bangsa dan bermacam-macam ras? Apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa rapat diri dengan Marxisme yang internasional, interrasial itu?

Dengan ketetapan hati kita menjawab: bisa! Sebab, walaupun Nasionalisme pada hakekatnya mengecualikan segala pihak yang tak ikut mempunyai "keinginan hidup menyatu" dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa "satu golongan, satu bangsa" dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan dalam asasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak "dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu",
—maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai "keinginan hidup menjadi satu"; —bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa "satu golongan, satu bangsa"; —bahwa segala pihak dari pergerakan kita ini, baik Nasionalis, Islamis, maupun Marxis, beratus-ratus tahun lamanya memiliki "persatuan hal ikhwal", beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka!

Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa "persatuan hal ikhwal", persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa "segolongan" itu. Betul rasa golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh di antara pihak-pihak pergerakan di Indonesia kita ini,
—akan tetapi bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!

Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa persahabatan bisa tercapai!
Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand (Mahatma) Gandhi: "Buat saya, cinta pada tanah air adalah cinta pada kemanusiaan. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara hidup manusia. Saya tidak mengecualikan siapapun juga." Inilah rahasianya, sehingga Gandhi punya cukup kekuatan untuk mempersatukan pihak Islam dengan pihak Hindu, pihak Parsi, pihak Yain, dan pihak Sikh, yang jumlahnya lebih dari tigaratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi ini!

Tidak ada halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis dan Marxis. Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi dengan Pan-Islamis Maulana Muhammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghebat, hampir tiada pisahnya satu sama lainnya. Lihatlah geraknya partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridho hati menerima paham-paham Marxis: tak setuju pada kemiliteran, tak setuju pada imperialisme, tak setuju pada kemodalan!

Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berubah paham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu!

Bahwa sesungguhnya, asal mau saja... tak kuranglah jalan ke arah persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain, keinsyafan akan pepatah "rukun membikin sentausa" (itulah sebaik-baiknya jembatan ke arah persatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala pihak dalam pergerakan kita ini.

Kita ulangi lagi: Tidak ada halangannya Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis!

Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi dunia dan sejarah dunia
bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, nasionalis yang bukan chauvinis tak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, —nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu ilham dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segala paham kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka Nasionalisme itu adalah lebar dan luas, mampu memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagaimana lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.

Wahai, apakah sebabnya kecintaan bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi kebencian, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang berkeyakinan Islamistis? Apakah sebabnya kecintaan itu lalu berbalik menjadi permusuhan, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang bergerak Marxistis? Tiadakah tempat dalam sanubarinya untuk nasionalismenya Gopala Krishna Gokhate, Mahatma Gandhi, atau Chita Ranjam Das?

Janganlah hendaknya kaum kita sampai hati memeluk jango nationalism, sebagaimana jango nationalism Arya-Samaj di India pembelah dan pemecah persatuan Hindu-Muslim; sebab jango nationalism yang semacam itu "akhirnya pastilah binasa", oleh karena "nasionalisme hanyalah dapat mencapai apa yang dimaksudkannya, bilamana bersendi atas asas-asas yang lebih suci".

Bahwasanya, hanya nasionalisme ketimuran yang sejatilah yang pantas dipeluk oleh nasionalis Timur yang sejati. Nasionalisme Eropa, ialah suatu nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi,
—nasionalisme yang semacam ini akhirnja pastilah kalah, pastilah binasa.

Adakah keberatan untuk kaum Nasionalis yang sejati, buat bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, oleh karena Islam melebihi kebangsaan dan melebihi batas negeri ialah supernasional, superteritorial? Adakah internationaliteit Islam suatu rintangan buat geraknya nasionalisme, buat geraknya kebangsaan?

Banyak nasionalis di antara kita yang lupa bahwa pergerakan nasionalisme dan Islamisme di Indonesia ini
—ya, di seluruh Asia— adalah sama asalnya, sebagai yang telah kita uraikan di awal tulisan ini: dua-duanya berasal dari hasrat melawan "Barat", atau lebih tegas, melawan kapitalisme dan imperialisme Barat, sehingga sebenarnya bukan lawan, melainkan kawanlah adanya. Betapa lebih luhurnya sikap nasionalis Prof. TL Vaswani, seorang yang bukan Islam, yang menulis: "Jikalau Islam menderita sakit, maka Roh kemerdekaan Timur tentulah sakit juga; sebab makin sangatnya negeri-negeri Muslim kehilangan kemerdekaannya, makin lebih sengit pula imperialisme Eropa mencekik Roh Asia. Tetapi, saya percaya pada Asia sediakala; saya percaya bahwa Rohnya masih akan menang. Islam adalah internasional, dan jikalau Islam merdeka, berarti nasionalisme kita diperkuat oleh segenap kekuatannya itikad internasional itu."

Dan bukan itu saja. Banyak nasionalis kita yang lupa, bahwa orang Islam, di manapun juga adanya, di seluruh "Darul-Islam" menurut agamanya, wajib bekerja untuk keselamatan orang negeri yang ditempatinya. Nasionalis-nasionalis itu lupa, bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan keislamannya, baik orang Arab maupun orang India, baik orang Mesir maupun orang manapun juga, jikalau berdiam di Indonesia, wajib pula bekerja untuk keselamatan Indonesia. "Di mana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu masih menjadi satu bagian dari rakyat Islam, Persatuan Islam. Di mana-mana orang Islam bertempat, di situlah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya."

Inilah nasionalisme Islam!

Sempit budi dan sempit pikiranlah nasionalis yang memusuhi Islamisme serupa ini. Sempit budi dan sempit pikiranlah ia, oleh karena ia memusuhi suatu asas, yang
walaupun internasional dan interrasial mewajibkan pada segenap pemeluknya di Indonesia, bangsa apapun juga, mencintai dan bekerja untuk keperluan Indonesia dan rakyat Indonesia juga adanya!

Adakah pula keberatan untuk kaum Nasionalis sejati, bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis, oleh karena Marxisme itu internasional juga?

Nasionalis yang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis,
—Nasionalis yang semacam itu menunjukkan ketiadaan yang sangat, atas pengetahuan tentang berputarnya roda politik dunia dan sejarah. Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia atau Asia itu, juga merupakan tempat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri itu acap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanya yang Marxistis tadi. Ia lupa, bahwa memusuhi bangsanya yang Marxistis itu, samalah artinya dengan menolak kawan sejalan dan menambah adanya musuh. Ia lupa dan tak mengerti akan arti sikapnya saudara-saudaranya di lain-lain negeri Asia, umpamanya almarhum Dr. Sun Yat Sen, panglima Nasionalis yang besar itu, yang dengan segala kesenangan hati bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis pada saat itu belum bisa diadakan sosialisme di negeri Tiongkok, oleh karena di negeri Tiongkok tidak ada syarat-syaratnya yang cukup masak untuk mengadakan peraturan Marxis.

Perlukah kita membuktikan lebih lanjut, bahwa Nasionalisme,
baik sebagai suatu asas yang timbulnya dari rasa ingin hidup menjadi satu; baik sebagai suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu bangsa; maupun sebagai suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu, perlukah kita membuktikan lebih lanjut bahwa Nasionalisme, asal saja yang memeluknya mau, bisa dirapatkan dengan Islamisme dan Marxisme? Perlukah kita lebih lanjut mengambil contoh-contoh sikap para pendekar Nasionalis di lain-lain negeri, yang sama bergandengan tangan dengan kaum-kaum Islamis dan rapat diri dengan kaum-kaum Marxis?

Kita rasa tidak! Sebab kita percaya bahwa tulisan ini, walaupun pendek dan jauh kurang sempurna, sudahlah cukup jelas untuk Nasionalis-nasionalis kita yang mau bersatu. Kita percaya, bahwa semua Nasionalis-muda adalah berdiri di samping kita. Kita percaya pula, bahwa masih banyaklah Nasionalis-nasionalis kolot yang mau akan persatuan; hanya kebimbangan mereka akan kekalnya persatuan itulah yang mengecilkan hatinya untuk mengikhtiarkan persatuan.

Pada mereka itulah terutama tulisan ini kita hadapkan; untuk merekalah terutama tulisan ini kita adakan.

Kita tidak menuliskan rencana ini untuk Nasionalis-nasionalis yang tidak mau bersatu. Nasionalis-nasionalis yang demikian itu kita serahkan pada pengadilan sejarah, kita serahkan pada putusannya mahkamah histori!


 Islamisme, Keislaman!
Sebagaimana fajar sehabis malam yang gelap-gulita, sebagai penutup abad-abad kegelapan, maka di abad kesembilanbelas berkilau-kilauanlah dalam dunia keislaman, sinarnya dua pendekar yang namanya tak akan hilang, tertulis dalam buku riwayat Muslim: Sheikh Mohammad Abduh, Rektor Sekolah Tinggi Al Azhar, dan Seyid Jamaluddin El Afghani
dua panglima Pan-Islamisme yang telah membangunkan dan menjunjung rakyat-rakyat Islam di seluruh benua Asia dari kegelapan dan kemunduran. Walaupun dalam sikapnya dua pahlawan ini berbeda sedikit satu sama lain Seyid Jamaluddin El Afghani lebih radikal dari Sheikh Mohammad Abduh maka merekalah yang membangunkan lagi kenyataan-kenyataan Islam tentang politik, terutama Seyid Jamaluddin, yang pertama-tama membangunkan rasa perlawanan di hati sanubari rakyat-rakyat Muslim terhadap bahaya imperialisme Barat; merekalah terutama Seyid Jamaluddin pula, yang mula-mula mengkhotbahkan suatu barisan rakyat Islam yang kokoh, guna melawan bahaya imperialisme Barat itu.

Sampai pada wafatnya dalam tahun 1896, Seyid Jamaluddin El Afghani, harimau Pan-Islamisme yang gagah berani itu, bekerja dengan tiada hentinya, menanam benih keislaman di mana-mana, menanam rasa perlawanan terhadap ketamakan Barat, menanam keyakinan, bahwa untuk perlawanan itu kaum Islam harus "mengambil tekniknya kemajuan Barat, dan mempelajari rahasia-rahasianya kekuasaan Barat".

Benih-benih itu tertanam! Sebagai ombak yang makin lama makin hebat, sebagai gelombang yang makin lama makin tinggi dan besar, maka di seluruh dunia Muslim tentara-tentara Pan-Islamisme sama bangun dan bergerak dari Turki dan Mesir, sampai ke Maroko dan Kongo, ke Persia, Afghanistan... membanjir ke India, terus ke Indonesia... gelombang Pan-Islamisme melimpah ke mana-mana!

Begitulah rakyat Indonesia kita ini, insyaf akan tragis nasibnya, sebagian sama bernaung di bawah bendera hijau, dengan muka ke arah Qiblah, mulut mengaji La haula wala kuwata illa billah dan Billahi fisabilil ilahi!

Mula-mula masih perlahan-lahan, dan belum begitu terang benderanglah jalan yang harus diinjaknya, maka makin lama makin nyata dan tentulah arah-arah yang diambilnya, makin lama makin banyaklah hubungannya dengan pergerakan-pergerakan Islam di negeri-negeri lain; makin teranglah ia menunjukkan perangainya yang internasional; makin mendalamlah pula pendiriannya atas hukum-hukum agama. Karenanya, tak heranlah kita, kalau seorang profesor Amerika, Ralston Hayden, menulis bahwa pergerakan sarekat Islam ini "akan berpengaruh besar atas kejadian politik di kelak kemudian hari, bukan saja di Indonesia, tetapi di seluruh dunia Timur jua adanya!" Ralston Hayden dengan ini menunjukkan keyakinannya akan perangai internasional dari pergerakan sarekat Islam itu; ia menunjukkan pula suatu penglihatan yang jernih di dalam peristiwa-peristiwa yang belum terjadi pada saat ia menulis itu. Bukankah tujuannya telah terjadi? Pergerakan Islam di Indonesia telah ikut menjadi cabangnya Mu’tamarul 'Alamil Islami di Mekkah; pergerakan Islam Indonesia telah menceburkan diri dalam laut perjuangan Islam Asia!

Makin mendalamnya pendirian keagamaan pada pergerakan Islam inilah yang menyebabkan keseganan kaum Marxis untuk merapatkan diri dengan pergerakan Islam itu; dan makin menonjolnya sifat internasional itulah yang oleh kaum Nasionalis "kolot" dipandang tersesat; sedang hampir semua Nasionalis, baik "kolot" maupun "muda", baik evolusioner maupun revolusioner, sama berkeyakinan bahwa agama itu tidak boleh dibawa-bawa ke dalam politik adanya. Sebaliknya, kaum Islam yang "fanatik", sama menghina politik kebangsaan dari kaum Nasionalis, menghina politik kerezekian dari kaum Marxis; mereka memandang politik kebangsaan itu sebagai sempit, dan mengatakan politik kerezekian itu sebagai kasar. Pendek kata, sudah sempurnalah adanya perselisihan paham!

Nasionalis-nasionalis dan Marxis-marxis tadi menunjuk pada negeri-negeri Islam yang kini begitu rusak keadaannya, begitu rendah derajatnya, hampir semuanya di bawah pemerintahan negeri-negeri Barat.

Mereka kusut paham! Bukan Islam, melainkan pemeluknyalah yang salah! Sebab dipandang dari pendirian nasional dan pendirian sosialistis, maka tinggi derajat dunia Islam pada mulanya sukarlah dicari bandingannya. Rusaknya kebesaran nasional, rusaknya sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh Islam sendiri; rusaknya Islam itu ialah oleh karena rusaknya budi pekerti orang-orang yang menjalankannya. Sesudah Amir Muawiyah mengutamakan asas dinastis-keduniawian untuk aturan khalifah, sesudah "khalifah-khalifah itu menjadi Raja", maka padamlah tabiat Islam yang sebenarnya. "Amir Muawiyah-lah yang harus memikul pertanggungan jawab atas rusaknya tabiat Islam yang nyata bersifat sosialistis dengan sebenar-benarnya," begitulah Umar Said Cokroaminoto berkata. Dan, dipandang dari pendirian nasional, tidakkah Islam telah menunjukkan contoh-contoh kebesaran yang mencengangkan bagi siapa saja yang mempelajari riwayat dunia, mecengangkan bagi siapa saja yang mempelajari riwayat kultur?

Islam telah rusak, oleh karena yang menjalankannya rusak budi pekertinya. Negeri-negeri Barat telah merampas negeri-negeri Islam oleh karena pada saat perampasan itu kaum Islam kurang tebal tauhidnya, dan oleh karena menurut wet (hukum) evolusi dan susunan pergaulan hidup bersama, sudah satu historische Notwendigkeit (keharusan sejarah), bahwa negeri-negeri Barat itu menjalankan perampasan tadi. Tebalnya tauhid itulah yang memberi keteguhan pada bangsa Riff menentang imperialisme Spanyol dan Prancis yang bermeriam dan lengkap bersenjata! Islam yang sejati tidaklah mengandung asas anti-nasionalis; Islam yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi paham-paham Nasionalisme yang luas budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas sirothol mustaqim; selama itu tidaklah ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tadi! Kita sama sekali tidak mengatakan bahwa Islam (harus) setuju pada materialisme atau perbendaan; sama sekali tidak melupakan bahwa Islam itu melebihi bangsa, super-nasional. Kita hanya mengatakan, bahwa Islam yang sejati itu mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajiban yang menjadi kewajiban-kewajibannya nasionalis pula!

Bukankah
sebagaimana sudah kita terangkan Islam yang sejati mewajibkan pada pemeluknya mencintai dan bekerja untuk negeri yang ia diami, mencintai dan bekerja untuk rakyat dimana ia hidup, selama negeri dan rakyat itu masuk Darul-Islam? Seyid Jamaluddin El Afghani di mana-mana telah mengkhotbahkan nasionalisme dan patriotisme, yang oleh musuhnya lantas saja disebut "fanatisme"; di mana-mana pendekar Pan-Islamisme ini mengkhotbahkan hormat akan diri sendiri, mengkhotbahkan rasa luhur diri, mengkhotbahkan rasa kehormatan bangsa, yang oleh musuhnya lantas saja dinamakan "chauvinisme" adanya. Di mana-mana, terutama di Mesir, maka Seyid Jamaluddin menanam benih nasionalisme itu; Seyid Jamaluddin-lah yang menjadi "bapak nasionalisme Mesir di dalam segenap bagian-bagiannya".

Dan bukan Seyid Jamaluddin sajalah yang menjadi penanam benih nasionalisme dan cinta bangsa. Arabi Pasha, Mustafa Kamil, Mohammad Farid Bey, Ali Pasha, Ahmed Bey Agayeff, Mohammad Ali dan Shaukat Ali... semuannya adalah panglimanya Islam yang mengajarkan cinta bangsa, semuanya adalah propagandis nasionalisme di masing-masing negerinya! Hendaklah pemimpin-pemimpin ini menjadi teladan bagi Islamis-islamis kita yang "fanatik" dan sempit budi, dan yang tidak suka mengetahui akan wajibnya merapatkan diri dengan gerakan bangsanya yang nasionalistis. Hendaklah Islamis-islamis yang demikian itu ingat, bahwa pergerakannya yang "anti-kafir" itu, pastilah menimbulkan rasa nasionalisme, oleh karena golongan-golongan yang disebutkan "kafir" itu adalah kebanyakan dari lain bangsa, bukan bangsa Indonesia. Islamisme yang memusuhi pergerakan nasional yang layak, bukanlah Islamisme yang sejati; Islamisme yang demikian itu adalah Islamisme yang "kolot", Islamisme yang tak mengerti aliran zaman!

Demikian pula kita yakin, bahwa kaum Islamis itu bisa kita rapatkan dengan kaum Marxis, walaupun pada hakekatnya dua pihak ini berbeda asas yang lebar sekali. Pedihlah hati kita, ingat akan gelap-gulitanya udara Indonesia, tatkala beberapa tahun yang lalu kita menjadi saksi atas suatu perkelahian saudara; menjadi saksi pecahnya permusuhan antara kaum Marxis dan Islamis; menjadi saksi bagaimana tentara pergerakan kita telah terbelah menjadi dua bagian yang memerangi satu sama lain. Pertarungan inilah isi dari halaman-halaman yang paling suram dari buku riwayat kita! Pertarungan saudara inilah yang membuang sia-sia segala kekuatan pergerakan kita, yang mustinya makin lama makin kuat itu; pertarungan inilah yang mengundurkan pergerakan kita dengan puluhan tahun adanya!

Aduhai! Alangkah kuatnya pergerakan kita sekarang umpama pertarungan saudara itu tidak terjadi. Niscaya tidak rusak susunan
kita sebagaimana sekarang ini; niscaya pergerakan kita maju, walaupun rintangan yang bagaimana pun juga! Kita yakin, bahwa tiadalah halangan yang penting bagi persahabatan Muslim-Marxis itu.

Di atas sudah kita terangkan, bahwa Islamisme yang sejati mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis. Walaupun sosialistis itu masih belum tentu bermakna marxistis, walaupun kita mengetahui bahwa sosilalisme Islam tidak bersamaan dengan asas Marxisme, oleh karena sosialisme Islam itu berasas spiritualisme dan sosialismenya Marxisme berasas materialisme (perbendaan); walaupun begitu, maka untuk keperluan kita cukuplah agaknya jikalau kita membuktikan bahwa Islam sejati itu sosialistislah adanya. Kaum Islam tak boleh lupa, bahwa pemandangan Marxisme tentang riwayat menurut asas perbendaan (
materialsitische historie opvatting) inilah yang seringkali menjadi penunjuk jalan bagi mereka, tentang soal-soal ekonomi dan politik-dunia yang sukar dan sulit; mereka tak boleh lupa, bahwa caranya (metode) Historis-Materialisme (ilmu sejarah yang berdasarkan hubungan perbendaan) menerangkan kejadian-kejadian yang telah terjadi di muka bumi ini, adalah cara untuk menunjukkan kejadian-kejadian yang akan datang, adalah amat berguna bagi mereka!

Kaum Islamis tidak boleh lupa, bahwa kapitalisme, musuh Marxisme itu, ialah musuh Islamisme pula! Sebab meerwaarde (nilai tambah) sepanjang paham Marxisme, dalam hakekatnya adalah riba sepanjang paham Islam. Meerwaarde, ialah teori: memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang seharusnya menjadi bagian kaum buruh yang bekerja mengeluarkan untung itu. Teori meerwaarde ini disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels untuk menerangkan asal-asalnya kapitalisme terjadi. Meerwaarde inilah yang menjadi nyawa segala peraturan yang bersifat kapitalistis. Dengan memerangi meerwaarde inilah, maka kaum Marxisme memerangi kapitalisme sampai pada akar-akarnya!

Untuk Islamis sejati, maka dengan lekas saja teranglah baginya, bahwa tak layaklah ia memusuhi paham Marxisme yang melawan peraturan meerwaarde, sebab ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati juga memerangi peraturan itu; ia tak lupa, bahwa Islam yang sejati melarang keras akan perbuatan memakan riba dan memungut bunga. Ia mengerti, bahwa riba pada hakekatnya tiada lain daripada meerwaarde-nya paham Marxisme!

"Janganlah makan riba berlipat ganda dan perhatikanlah kewajibanmu terhadap Allah, moga-moga kamu beruntung!" begitulah tertulis dalam Al Qur'an, surat Ali Imran ayat 129!
Islamis yang luas pemandangan, Islamis yang mengerti akan kebutuhan-kebutuhan perlawanan kita, pastilah setuju akan persahabatan dengan kaum Marxis, sebab ia insyaf bahwa memakan riba dan pemungutan bunga, menurut agamanya adalah suatu perbuatan yang terlarang, suatu perbuatan yang haram; ia insyaf, bahwa inilah caranya Islam memerangi kapitalisme sampai ke akar dan benihnya, oleh karena
sebagaimana sudah kita terangkan di muka riba sama dengan meerwaarde yang menjadi nyawanya kapitalisme. Ia insyaf, bahwa sebagaimana Marxisme, "dengan kepercayaannya pada Allah, dengan pengakuannya atas Kerajaan Tuhan, Islam adalah suatu perlawanan terhadap kejahatan kapitalisme".

Islamis yang "fanatik" dan memerangi pergerakan Marxisme adalah Islamis yang tak kenal akan larangan-larangan agamanya sendiri. Islamis yang demikian itu tak mengetahui bahwa, sebagaimana Marxisme, Islamisme yang sejati melarang penumpukan uang secara kapitalistis, melarang penimbunan harta benda untuk keperluan sendiri. Ia tak ingat akan ayat Al-Qur'an: "Tetapi kepada barang siapa menumpuk-numpuk emas dan perak dan membelanjakannya tidak menurut jalannya Allah, kabarkanlah bahwa mereka akan mendapat hukuman yang celaka!" Ia mengetahui, bahwa sebagaimana Marxisme yang dimusuhi itu, agama Islam dengan jalan yang demikian itu memerangi wujudnya kapitalisme dengan seterang-terangnya!

Dan masih banyaklah kewajiban-kewajiban dan ketentuan-ketentuan dalam agama Islam yang bersamaan dengan tujuan-tujuan dan maksud-maksud Marxisme itu! Sebab, tidakkah pada hakekatnya paham kewajiban zakat dalam agama Islam, suatu kewajiban si kaya membagikan rezekinya kepada si miskin, sama dengan pembagian rezeki yang dikehendaki pula oleh Marxisme
tentu saja dengan cara Marxisme sendiri? Tidakkah Islam bercocokan anasir-anasir "kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan" dengan Marxisme yang dimusuhi oleh banyak kaum Islamis itu? Tidakkah Islam yang sejati telah membawa "segenap perikemanusiaan di atas lapangan kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan"? Tidakkah nabi Islam sendiri mengajarkan persamaan itu dengan sabda: "Hai, aku ini hanyalah seorang manusia sebagaimana kamu; sudahlah diltitahkan padaku, bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu"? Bukankah persaudaraan ini diperintahkan pula oleh ayat 13 surat Al Hujarat, yang bunyinya: "Hai manusia, sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami jadikan engkau bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, supaya kamu berkenal-kenalan satu sama lain"? Bukankah persaudaraan ini "tidak tinggal sebagai persaudaraan di dalam teori saja", dan oleh orang-orang yang bukan Islam diaku pula adanya? Tidakkah sayang bila beberapa kaum Islamis memusuhi suatu pergerakan, yang anasir-anasirnya juga berbunyi "kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan"?

Hendaklah kaum Islam yang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat bahwa pergerakannya itu, sebagaimana pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau kumandangnya jerit dan tangis rakyat Indonesia yang makin lama makin sempit kehidupannya, makin lama makin pahit rumah tangganya. Hendaklah kaum itu sama ingat, bahwa pergerakannya itu
banyaklah bersesuaian cita-cita, banyaklah persamaan tuntutan-tuntutan dengan pergerakan Marxis. Hendaklah kaum itu mengambil teladan akan utusan kerajaan Islam Afganistan, yang tatkala ia ditanyai oleh suatu suratkabar Marxis telah menerangkan bahwa, walaupun beliau bukan seorang Marxis, beliau mengaku menjadi "sahabat yang sesungguh-sungguhnya" dari kaum Marxis, oleh karena beliau adalah suatu musuh yang hebat dari kapitalisme Eropa di Asia!

Sayang, sayanglah jikalau pergerakan Islam di Indonesia kita ini bermusuhan dengan pergerakan Marxis! Belum pernah di Indonesia kita ini ada pergerakan yang sesungguh-sungguhnya merupakan pergerakan rakyat, sebagaimana pergerakan Islam dan pergerakan Marxis! Belum pernah di negeri kita ini ada pergerakan yang begitu menggetar sampai ke dalam urat sumsumnya rakyat, sebagaimana pergerakan yang dua itu! Alangkah hebatnya jikalau dua pergerakan ini, dengan mana rakyat tidur dan dengan mana rakyat bangun, bersatu menjadi satu banjir yang sekuasa-kuasanya!

Bahagialah kaum pergerakan Islam yang insyaf dan mau akan persatuan. Bahagialah mereka, oleh karena merekalah yang sesungguh-sungguhnya menjalankan perintah-perintah agamanya!

Kaum Islam yang tidak mau akan persatuan, dan yang mengira bahwa sikapnya yang demikian itulah sikap yang benar,
wahai, moga-mogalah mereka itu bisa mempertanggungjawabkan sikapnya yang demikian itu di hadapan Tuhannya!

Marxisme!
Mendengar perkataan ini, maka tampak bayang-bayangan di penglihatan kita, gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat-pucat dan kurus badan, pakaian berkoyak-koyak. Tampak pada angan-angan kita, dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi
seorang ahli pikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebiasaannya "mengingatkan kita pada pahlawan-pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Germania yang sakti dengan tiada terkalahkan, suatu manusia yang "geweldig" (hebat) yang dengan sesungguh-sungguhnya menjadi "grootmeester" (maha guru) pergerakan kaum buruh, yakni: Heinrich Karl Marx.

Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini tiada henti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara dan bagaimana mereka itu pasti akan mendapat kemenangan; tiada kesal dan capainya ia berusaha dan bekerja untuk pembelaan itu: duduk di atas kursi, di muka meja tulisnya, begitulah ia dalam tahun 1883 menghembuskan nafasnya yang penghabisan.

Seolah-olah mendengarlah kita, di mana-mana negeri suaranya mendengung sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 menulis seruannya: "Kaum buruh dari semua negeri, bersatulah!" Dan sesungguhnya! Riwayat dunia belumlah pernah menceritakan pendapat dari seorang manusia, yang begitu cepat masuknya ke dalam keyakinan satu golongan pergaulan hidup, sebagaimana pendapat kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan, dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan... begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya sukar dan berat untuk kaum yang pandai dan terang pikiran, tetapi "amatlah ia gampang dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara: kaum melarat pikiran yang berkeluh-kesah".

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya adalah suatu teriak perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kalipun mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula paham pertentangan golongan; paham klassenstrijd (pertentangan kelas), dan mengajarkan pula bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, ialah oleh perlawanan-zonder-damai terhadap kaum "borjuasi", satu perlawanan yang tidak boleh tidak
musti terjadi oleh karena adanya peraturan yang kapitalistis.

Walaupun pembaca
semua tentunya sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx, maka berguna pulalah agaknya jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli pikir ini ialah:
  • ia mengadakan suatu pelajaran gerakan pemikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek);
  • ia membentangkan teori, bahwa harga barang sesungguhnya ditentukan oleh banyaknya "kerja" untuk membikin barang-barang itu, sehingga "kerja" ini ialah "wertbildende Substanz", dari barang-barang itu (arbeids-waardeleer);
  • ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde/riba);
  • ia mengadakan suatu pelajaran sejarah yang berdasarkan perikebendaan, yang mengajarkan bahwa "bukan budi-akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaan yang berhubungan dengan pergaulan hiduplah yang menentukan budi-akalnya" (materialistische geschiedenisopvatting);
  • ia mengadakan teori, bahwa oleh karena meerwaarde itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaalscentralisatie), dan bahwa oleh karena persaingan perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desakan-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan saja yang amat besarnya (kapitaalsconcentratie);
  • dan ia membangun teori, bahwa dalam aturan kemodalan ini nasib kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam hati yang makin lama makin sangat (Verelendungstheorie/Teori Pemiskinan ); teori-teori mana, karena kekurangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum mengetahuinya.
Meskipun musuh-musuhnya di antaranya kaum anarkis menyangkal jasa-jasa Marx yang kita sebutkan di atas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa riwayat itu "menetapkan kejadian-kejadiannya" sedang ilmu ekonomi "menerangkan sebab-apa kejadian-kejadian itu terjadi"; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir seperti Sismondi, Thompson dan lain-lain; meskipun pula teori konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuh-musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; meskipun begitu, maka tetaplah, bahwa stelsel (sistim)-nya Karl Marx itu mempunyai pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya. Tetaplah pula bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli pikir lain, Marx-lah yang meski bahasanya itu untuk kaum "atasan" sangat berat dan sukarnya dengan terang-benderang menguraikan teori-teori itu bagi kaum "tertindas dan sengsara yang melarat-pikiran" sehingga mengerti dengan terang-benderang. Dengan gampang saja, seperti suatu soal yang "sudah-mustinya-begitu", mereka lalu mengerti teorinya atas meerwaarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak memberikan semua hasil pekerjaan padanya; mereka lalu mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia tentang budi, akal, agama, dan lain-lainnya, bahwa manusia itu er ist was er ist (lantas saja mengerti) bahwa kapitalisme itu akhirnya pastilah binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan hidup yang lebih adil, bahwa kaum "borjuasi" itu "sesungguhnya sedang menggali liang kuburnya sendiri".

Begitulah, teori-teori yang dalam dan berat itu masuk ke tulang sumsumnya kaum buruh di Eropa, masuk pula ke tulang sumsumnya kaum buruh di Amerika. Dan "tidaklah sebagai suatu hal yang ajaib, bahwa kepercayaan ini telah masuk dalam berjuta-juta hati dan tiada suatu kekuasaan juapun di muka bumi ini yang dapat mencabut lagi darinya". Sebagaimana tebaran benih yang ditiup angin ke mana-mana tempat, dan tumbuh pula di mana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; di mana-mana pula, maka kaum "borjuasi" sama menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh-tumbuhan "bahaya proletar" yang makin lama makin subur itu. Benih yang ditebarkan-tebarkan di Eropa, sebagian telah diterbangkan oleh taufan zaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh di antara bukit-bukit dan gunung-gunung yang tersebar di segenap kepulauan "sabuk-zamrud", yang bernama Indonesia. Dengungnya nyanyian "Internasionale", yang dari hari ke hari menggetarkan udara Barat, sampai-kuatlah hebatnya bergaung dan berkumandang di udara Timur...

Pergerakan Marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan yang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berasas keislaman. Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah menjadi suatu pertengkaran perselisihan paham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu pertengkaran saudara, yang
sebagaimana sudah kita terangkan di muka menyuramkan dan menggelapkan hati siapa saja yang mengutamakan perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa saja yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran yang demikian itulah letaknya kekalahan kita. Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah air, dan lenyapkanlah politik keagamaan, begitulah seakan-akan lagu perjuangan yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah mengatakan, bahwa "kaum buruh tak mempunyai tanah air"? Katanya: Bukankah dalam "Manifesto Komunis" ada tertulis, bahwa "komunisme melepaskan agama"? Katanya: Bukankah Bibel telah mengatakan, bahwa "bukanlah Allah yang membikin manusia, tetapi manusialah yang membikin-bikin tuhan"?

Dan sebaliknya! Pihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti pula mencaci-maki pihak Marxis, mencaci-maki pergerakan yang "bersekutuan" dengan orang asing, dan mencaci-maki pergerakan yang "ingkar" akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut pendapat mereka: asasnya sudah pailit dan terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi, bahkan mendatangkan "kalang-kabutnya negeri" dan bahaya kelaparan dan hawa penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia, suatu jumlah yang lebih besar daripada jumlah sekalian manusia yang binasa dalam peperangan besar yang akhir itu.

Demikian dengan bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah salah mengerti dan saling tidak mengindahkan. Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih saja bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berubah.

Sebaliknya, Nasionalis dan Islamis yang menunjuk-nunjuk akan "failliet" (kegagalan) Marxisme, dan yang menunjuk-nunjuk bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan yang telah terjadi oleh "practijk-nya" paham Marxisme,
mereka menunjukkan tak mengertinya atas paham Marxisme, dan tak mengertinya atas sebab terpelesetnya "practijk-nya" tadi. Sebab tidakkah Marxisme sendiri mengajarkan, bahwa sosialisme hanya bisa tercapai dengan sungguh-sungguh bilamana negeri-negeri yang besar-besar itu semuanya di-"sosialis"-kan?

Bukankah "kejadian" sekarang ini jauh berlainan daripada "voorwaarde" (syarat) untuk terkabulnya maksud Marxisme itu?

Untuk adilnya kita punya hukuman terhadap "practijknya" paham Marxisme, maka haruslah kita ingat, bahwa "failliet" dan "kalang-kabut"-nya negeri Rusia adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh hantaman dan serangan empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagaimana Inggris, Prancis, dan jendral-jendral Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh propaganda anti, yang dilakukan oleh hampir semua surat kabar di seluruh dunia.

Dalam pandangan kita, maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggungjawab atas matinya limabelas juta orang yang sakit dan kelaparan itu, dimana mereka menyokong penyerangan Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel dengan harta dan benda; dimana umpamanya negeri Inggris, yang membuang-buang berjuta-juta rupiah untuk menyokong penyerangan-penyerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu, telah "mengotorkan nama Inggris di dunia dengan menolak memberi tiap-tiap bantuan pada kerja-penolongan" si sakit dan si lapar; dimana di Amerika, di Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu pula, karena terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum untuk kayu bakar, sedang di negeri Rusia, orang-orang di distrik Samara makan daging anak-anaknya sendiri oleh karena laparnya.

Bahwa sesungguhnya, luhurlah sikap HG. Wells
penulis Inggris yang masyhur, seorang yang bukan Komunis dimana ia dengan tak memihak siapapun, menulis bahwa, "umpamanya kaum Bolshevik tidak dirintang-rintangi, mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu experiment yang maha-besar faedahnya bagi perikemanusiaan... Tetapi mereka dirintang-rintangi."

Kita yang bukan komunis pula, kitapun tak memihak siapa juga! Kita hanyalah memihak Persatuan-persatuan Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita semua!

Kita di atas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti kaum kebangsaan dan anti kaum keagamaan, maka sekarang
terutama di Asia sudahlah begitu berubah, hingga kesengitan "anti" ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afganistan.

Adapun teori Marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya haruslah diubah, manakala zaman berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiri pun mengerti akan hal ini; mereka sendiri pun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perubahan paham atau perubahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka masih hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti "Verelendung" sebagai yang dimaksudkan dalam "Manifesto Komunis" dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam "Das Kapital",
maka segeralah tampak pada kita perubahan paham itu.

Bahwasannya: benarlah pendapat sosial-demokrat
Emile Vandervelde, yang mengatakan bahwa "revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya".

Perubahan taktik dan teori itulah yang menjadi sebab, sehingga kaum Marxis yang "muda"
baik "sabar" maupun yang "keras" terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh-sungguh. Mereka mengerti, bahwa di negeri-negeri Asia, dimana belum ada kaum proletar dalam arti sebagaimana di Eropah atau Amerika, pergerakannya harus diubah sifatnya menurut pergaulan hidup Asia pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropah atau Amerika, dan haruslah "bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang "klein-burgerlijk" (borjuis kecil), karena di sini yang pertama-tama perlu bukanlah perebutan kekuasaan tetapi ialah perlawanan terhadap feodalisme.

Supaya kaum buruh di negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjadi pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu merdeka, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). "Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjuangan proletar, karena hal itu perlu sekali bagi politiknya," begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional menjadi hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan pergerakan buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia wajib bekerja bersama-sama dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasional juga, dengan tidak menghitung-hitung, di atas asas apakah pergerakan-pergerakan itu dijalankan. Itulah sebabnya, maka pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis mengambil otonomi (kemerdekaan) sebagai maksudnya pula.

Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme di hati sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia kebanyakan ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya rakyat "bawah" terhadap rakyat yang di "atas"-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan nationale machtspolitiek (kekuasaan politik nasional) dari rakyat sendiri. Mereka harus ingat, bahwa rasa internasionalisme di Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagaimana di Eropah, oleh karena kaum buruh di Indonesia menerima paham internasionalisme pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu oleh "gehechtheid" (keterikatan) pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja di lain-lain negeri, dengan itikad: "ubi bene, ibi patria: di mana aturan kerja bagus, di situlah tanah air saya",
sebagaimana kaum buruh di Eropah yang menjadi tidak tetap rumah dan tidak tetap tanah air oleh karenanya.

Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanya. Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis di lain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis di negeri Tiongkok, yang dengan ridla hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insyaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya.

Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis bermusuhan dan berbentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka memerangi pergerakan, yang
sebagaimana sudah kita uraikan di atas dengan seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga yang dus anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan; dengan seterang-terangnya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme kuno. Marxisme baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam "Manifesto Komunis" mengatakan, bahwa agama itu harus di-"abschaffen" atau dilepaskan adanya.

Kita harus membedakan Historis-Materialisme dari Wijsgerijg-Materialisme (Filsafat Materialisme); kita harus memperingatkan, bahwa maksud Historis-Materialisme itu berlainan
maksudnya dari Wijsgerig-Materialisme tadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungan antara pikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimanakah pikiran itu terjadi; sedangkan Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah pemikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan adanya (wezen) pikiran itu; historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya pemikiran itu berubah; wijsgerig-materialisme mencari asalnya pikiran, historis-materialisme mempelajari tumbuhnya pemikiran; wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme adalah tentang sejarah.

Dua paham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan paham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxis ialah kaum yang mengajarkan bahwa pikiran hanyalah suatu pengeluaran saja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi.

Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropah terhadap kaum gereja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropah terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, dimana kaum gereja memakai-makai agama untuk melindung-lindungi kapitalisme, memakai-makai agamanya untuk membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik yang reaksioner sekali.

Adapun kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari kaum gereja yang reaksioner itu,
oleh kaum Marxis disamaratakan pula kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali sikap dan sifatnya dengan kaum gereja di Eropah. Di sini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; di sini agama Islam adalah agama kaum "bawah". Sedang kaum yang memeluk agama Kristen adalah kaum yang bebas; di sana agama Kristen adalah agama kaum "atas". Tak boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang tak merdeka, agama kaum "bawah" ini; agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum "bawahan", agama yang demikian itu pastilah menimbulkan sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu perjuangan yang dalam beberapa bagian sesuai dengan perjuangan Marxisme itu.

Karenanya, jikalau kaum Marxis ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropah dengan kaum Islam di Indonesia ini, maka niscaya mereka mengajukan tangannya, sambil berkata: "Saudara, marilah kita bersatu!" Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya seasas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi di lain-lain negeri, maka niscayalah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.

Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan memperlihatkan segala perubahan teori asasnya, dengan menjalankan segala perubahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menyebutkan diri pembela rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya rakyat.

Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot teori dan kuno taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh
Marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun rakyat adanya!

Tulisan kita hampir habis.Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa paham Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme di negeri jajahan, pada beberapa bagian melengkapi satu sama lain. Dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin di lain negeri. Tetapi kita yakin, bahwa kita dengan terang-benderang menunjukkan kemauan kita menjadi satu. Kita yakin, bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanya insyaf, bahwa persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan. Dan kita yakin pula, bahwa, walaupun pikiran kita tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing pihak, ia menunjukkan bahwa persatuan itu bisa tercapai.

Sekarang tinggal menetapkan saja organisasinya, bagaimana persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari organisatornya saja, yang menjadi Mahatma Persatuan itu. Apakah Ibu Indonesia, yang mempunyai putera-putera sebagaimana Umar Said Cokroaminoto, Cipto Mangunkusumo dan Semaun,
apakah Ibu Indonesia itu tak mempunyai pula Putera yang bisa menjadi Kampiun Persatuan itu?

Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya persatuan. Persatuan tak bisa terjadi, kalau masing-masing pihak tak mau memberi sedikit-sedikit pula.

Dan jikalau kita semua insyaf, bahwa
letaknya kekuatan hidup tidak dalam menerima, tetapi dalam memberi; jikalau kita semua insyaf, bahwa dalam percerai-beraian itu letaknya benih perbudakan kita; jikalau kita semua insyaf, bahwa permusuhan itulah yang menjadi asal kita punya "via dolorosa" (jalan kesengsaraan); jikalau kita insyaf, bahwa Roh Rakyat kita masih penuh kekuatan untuk menjunjung diri menuju Sinar yang Satu, yang berada di tengah-tengah kegelapan-gulita yang mengelilingi kita ini, maka pastilah Persatuan itu terjadi, dan pastilah Sinar itu tercapai juga.

Sebab Sinar itu dekat!


"Suluh Indonesia Muda", 1926



NATIONALISM, ISLAM AND MARXISM
Like the son of Bima, who was born in an age of struggle, Young Indonesia now sees the light of day, at a time when the peoples of Asia are deeply dissatisfied with their lot—dissatisfied with their economic lot, dissatisfied with their political lot and dissatisfied with their lot in every other respect!
The age of being satisfied with conditions as they are has passed.  A new age, a youthful age has arrived, like the dawn of a dear morning. The conservative theory that “the little man must be satisfied with his lot, content to sit in the background of historical events and offer himself and his possessions in the service of those who stand out in front,” is no longer accepted by the people of Asia. Their faith that the men who rule them today are true “guardians” who will one day relinquish their” guardianship” is also wearing thin. Less and less do they believe that those who rule them today are really “elder brothers” who will voluntarily let them go free when they are “mature” and have “come of age.”
This disbelief is based on the knowledge, is based on the conviction that the primary cause of colonization is not the desire for fame nor the wish to see the world; nor is it the longing for freedom, nor population pressures faced by the colonizers in their own countries, as Gustav Klenun would have it The prime cause of colonization is the search for gain.
“Colonization is primarily the result of shortages of goods in the home country,” according to Dietrich Schafer. It was these shortages which caused the Europeans to seek their fortunes abroad, and explains why they colonized those countries which would yield them a profitable livelihood. And this is the reason, of course, why it is very difficult to believe in the emancipation of these colonies by their colonizers. A man does not readily give up his source of livelihood, since in doing so he signs his own death warrant.
So it is that year after year, decade after decade, the peoples of Europe have held dominion over the countries of Asia. For decades, profits from Asia have found their way back to Europe, especially to Western Europe, which has thereby amassed untold wealth.
Such is the tragic history of the colonies! It is the realization of this tragedy which has awakened the colonized peoples. For, even though outwardly defeated and submissive, the Spirit of Asia is eternal. The Spirit of Asia is still alive, like an inextinguishable flame. It is the realization of this tragedy that has now become the inner spirit of the people’s movement in Indonesia, a movement with a single common goal, yet with three aspects—Nationalist, Islamic and Marxist-
It is the responsibility of each and every one of us to study these three aspects, to determine the relationship between them, to prove that in a colonial situation hostility between them is pointless, and to show that these three “waves” can work together to form a single, gigantic and irresistible tidal wave. Whether or not we will succeed in carrying out this heavy and glorious responsibility is not for us to determine. Nevertheless, we must never abandon our efforts, we must never stop trying to fulfill our obligation to help unite these forces into a single movement. I am convinced that it is only this unity which will bring us to the realization of our dreams: a Free Indonesia. 
I do not know how this unity will be achieved or what form it will take- But of one thing I am certain: the ship that will take us to a Free Indonesia is the Ship of Unity! Perhaps we have as yet no Mahatma, a helmsman who can build and steer this Ship of Unity. Yet I am convinced that eventually the day will come when a Mahatma will appear in our midst. That is why I am proud to do my part in coaching for and smoothing the way toward this unity. That indeed is the purpose of this short article.
NATIONALISM, ISLAM AND MARXISM
These are the principles embraced by the peoples’ movements all over Asia. These are the concepts which have become the spirit of the movements in Asia as well as of the movements here in Indonesia.
The Budi Utomo, the “late” Nationaal Indische Partij—which is still “alive”—the Partai Sarekat Islam, the Perserikatan Minahasa, the Partai Komunis Indonesia, and many other parties each have their own spirit of Nationalism, Islam, or Marxism. Can these spirits work together in a colonial system to form one Great Spirit, the Spirit of Unity? A Spirit of Unity that will lead us to the arena of Greatness?  In colonial territories can the Nationalist movement be joined with the Islamic movement, which essentially denies the nation? Can it be allied with Marxism, which proclaims an international struggle? Under colonial systems can Islam, as a religion, cooperate with Nationalism, which stresses the nation, and with Marxism, which teaches materialism? Will we be successful in our efforts to bring together the Budi Utomo, which is so patient, gentle and moderate, with the PKI whose thrust is so forceful and whose struggle is so militant and radical? The Budi Utomo, which is so evolutionary by nature, and the PM, which, though very small, has been hounded and repressed by its enemies, who have apparently taken to heart Al. Carthill’s warning that “rebellions are usually the work of minorities, indeed of tiny minorities.”
NATIONALISM! NATIONHOOD!
In 1882 Ernest Renan expressed his views on the concept of the nation. A nation, he said, has a soul, an intellectual foundation, which consists of two things: first of all, a people must have shared a common history; secondly, a people must possess the will and desire to live as one. Neither race, language, religion, common needs nor state boundaries make a nation. In recent years, aside from such writers as Karl Kautsky and Karl Radek, it has been Otto Bauer above all who has studied the concept of the nation“A nation is a unity of attitudes which derives from a unity of historical experience,” he says.
Nationalism is the conviction, the consciousness of a people, that they are united in one group, one nation. Whatever the explanations advanced by these master theorists, it is certain that nationalist feeling creates a sense of self-confidence, and this is something absolutely essential if we are to defend ourselves in the struggle to overcome conditions that would defeat us.
It was this self-confidence which made the Budi Utomo people steadfast and determined in their efforts to achieve a Greater Java; it is this self-confidence which endows the revolutionary nationalists with the will to seek a Greater Indies or a Free Indonesia. Can the feeling of nationalism—which, because of this very self-confidence so easily turns into national arrogance and no less easily takes the further step of becoming racial arrogance, even though the concept of race is utterly different from the concept of nation, since race is a biological, while nationalism is a sociological concept—in the struggle of the colonized peoples can Nationalism be coupled with Islam, which in its essence knows no nation and which in fact has been embraced by a variety of nations and races? Under colonial systems. can Nationalism ally itself with Marxism, which is international and inter-racial? With full conviction, I answer: “Yes!”
Although Nationalism by its very nature excludes all parties who do not share the “desire to live as one”; although Nationalism actually belittles all groups which do not feel that they are “one group, one nation” with the people; although Nationalism in principle rejects all attitudes which do not 3tem from a “unity of historical experience,” we should not forget that the men who built the Islamic and Marxist movements here in Indonesia, as well as those who guide the Nationalist movement, all share the “desire to live as one,” and that, along with the Nationalists, these people feel they are members of “one group, one nation.” We must also not forget that all elements in our movement, whether they are Nationalist, Islamic, or Marxist, have shared for hundreds of years a “unity of historical experience.” For hundreds of years they have shared a common experience of bondage. We must also not overlook the fact that it is this “unity of historical experience,” this common lot, which creates the feeling of “belonging.” It is of course true that group feelings can give rise to quarrels and divisions; it is true that till now there have never been strong feelings of friendship between the different movements in
Indonesia. But it is not the purpose of this article to prove that quarrels cannot occur. If we want to quarrel, it is surely not difficult to find a pretext for doing so right away!
The purpose of this article is rather to prove that friendship can be attained. Let Nationalists who exclude and belittle all movements which are not confined to Nationalism be guided by the words of Karamchand Gandhi: “For me, my love of my country is part of my love for all mankind. I am a patriot because I am a human being, and act as a human being. I do not exclude anyone.” This was the secret which enabled Gandhi to unite Moslems with Hindus, Parsis, Jains, and Sikhs, all in all a population of more than three hundred millions, six times the population of Indonesia and almost one fifth of the human beings on this earth. There is nothing to prevent Nationalists from working together with Moslems and Marxists. Look at the abiding relationship between the Nationalist Gandhi and the Pan- Islamicists, Maulana Mohamed Au and Shaukat Au! When the non-cooperation movement in India was at its height, they were virtually inseparable. Look at the Chinese Nationalist (Kuomintang) Party’s readiness to accept the Marxist ideas of opposition to militarism, opposition to imperialism and opposition to capitalism!
I do not expect Nationalists to change their views and become Moslems or Marxists; nor is it my intention to order Marxists and Moslems to turn around and become Nationalists. Rather my dream is harmony, unity between these three groups Actually, provided we have the will, there is no lack of ways to achieve this unity.  Determination, confidence in each other’s sincerity and consciousness of the truth of the saying “Harmony brings security” (this is the best possible bridge to unity) are strong enough to overcome all the differences and misgivings between the various groups within our movement. I repeat: There is nothing to prevent Nationalists from working together with Moslems and Marxists.
A true Nationalist whose love for his country is based on a knowledge of the world economic system and of history and does not arise from sheer national arrogance, a Nationalist who is not a chauvinist, necessarily rejects all forms of narrow-minded exclusivism. A true Nationalist whose nationalism is not merely a copy of Western Nationalism, but stems rather from a feeling of love for humanity and his fellow-men, a nationalist who receives his feeling of nationalism as an inspiration and who puts it into practice as a matter of duty and service, is immune to petty and narrow views. Per him, this feeling of love for his country is something Maulana Mohamed Ali (1878-1931) and Maulana Shaukat Ali (1873-?) were the two brothers who led the ill-fated Khalifat (Caliphate) Pan-Islamic movement in India in the early 1920s. Gandhi supported their movement until it collapsed with Kemal Ataturk’s abolition of the Caliphate. They in turn backed his Swaraj movement. On his release from prison in 1923, Maulana Mohamect Ali was elected President of the Indian National Congress with Gandhi’s support. By 1928, however, growing antagonism between their respective Islamic and Hindu constituencies created a breach between them which was never to be healed.

vast and all-encompassing—like the atmosphere, which has room for everything needed to sustain the life of each living thing. Alas, why is it that the love Indonesian nationalists bear theft country turns to hatred when they encounter Indonesians of Moslem persuasion? Why does their love turn into hostility when they meet Indonesian Marxists? Is there no place in their hearts for the nationalism of Copal Krishna Gokhale, Mahatma Gandhi or Chitta Ranjan Das? We must at all costs avoid embracing a jingoistic nationalism such as that of Arya-Sarnaj, which split and divided the Hindus and Moslems in India.” This type of jingoistic nationalism will “certainly end in its own destruction,” since “nationalism can only achieve its goals if it is based on higher principles.”
Indeed, it is only a true Eastern nationalism which should be embraced by true Eastern nationalists. European nationalism—which is an aggressive nationalism, a nationalism that only pursues its own selfish interests, a commercial nationalism obsessed with profit and loss —will surely end in defeat, will certainly end in its own destruction. Is there any valid objection to true Nationalists cooperating with Moslems on the grounds that Islam’s supra-national and supra-territorial character transcends particular nationalities and nations? Does the international nature of Islam constitute a hindrance to the development of nationalism?
Many of our nationalists forget that the Nationalist and Islamic movements in Indonesia—indeed in all of Asia—had the same origin, as I explained at the beginning of this Article. Both originated in a strong desire to resist the West, or, more precisely, Western capitalism and imperialism. So they are really not enemies, but allies. I-low much more noble is the nationalism of Prof. T. L. Vaswanñ, a non-Moslem, who writes: “If Islam is sick, the Spirit of Eastern Freedom will surely suffer too, since the more the Moslem countries lose theft freedom, the more European imperialism will stifle the Spirit of Asia. However, I have faith in the Asia of old; I believe that her Spirit will emerge victorious. Islam is international: and if Islam is free, then our nationalism will be strengthened by the entire force of this international faith.”
And that is not all. Many of our nationalists forget that a Moslem, wherever he may be in the Dar al-Islam, is obliged by his religion to work for the welfare of the people in whose country he resides. These nationalists also forget that a Moslem who truly practices Islam, hether he is an Arab, an Indian, an Egyptian or of any other nationality, is bound, so long as he lives in Indonesia, to work for Indonesia’s welfare! “Wherever a Moslem resides, however far from his country of birth, he remains in this new country a part of the Islamic people, a part of the union of Islam. Wherever a Moslem lives, he must love, and he must work for, the needs of that country and its people.”
This is Islamic Nationalism! The nationalist who is hostile to Islam of this kind is mean- spirited and narrow-minded. He is mean-spirited and narrow-minded because he is hostile to a principle which, although international and inter-racial, obliges all its adherents in Indonesia, regardless of their national origin, to love and to work for the needs of Indonesia and her people.  ls there any valid objection to true Nationalists working together with Marxists on the grounds that Marxism is international?
A Nationalist who is reluctant to stand alongside of and to cooperate with Marxists reveals his acute lack of knowledge of the dynamics of world politics and history. He forgets that the origin of the Marxist movement in Indonesia or in Asia is the same as the origin of his own movement. He forgets that the direction of his own movement often coincides with the course of the Marxist movement. He forgets that hostility towards his Marxist compatriots is equivalent to rejecting a traveling-companion and to increasing the number of his enemies. He  forgets and fails to understand the meaning of the attitude of his brothers in other parts of Asia. For example, the late Dr. Sun Yat-sen, a very great Nationalist leader, was delighted to cooperate with the Marxists, although he was convinced that a Marxist order could not at that time be instituted in China, because conditions there were not yet ripe. Do I need to give further
proof that Nationalism—whether as a principle which arises from “the desire to live as one,” or as the consciousness of a people that they belong to a single group, a single nationality, or as a unity of attitudes resulting from a common historical experience—do I need to give further proof that Nationalism can ally itself with Islam and Marxism, provided that its adherents are willing to do so? Do I need to cite further examples of the attitudes of champions of Nationalism in other countries, who walk hand in hand with Moslems and have close relationships with Marxists?
I think not! I believe that this article, although brief and far from perfect, is already clear enough for those of our Nationalists who really want unity. I believe that all young Nationalists stand beside me. I believe, too, that there are many old-fashioned Nationalists who also want unity; only their lack of faith in the durability of such unity discourages them from struggling to achieve it. It is particularly to them that this article is addressed; it is above all for them that it is intended.
I am not writing for Nationalists who do not want unity. I leave this type of Nationalist to the judgment of history.
ISLAM
Like the break of day after the darkness of night, like the close of the Dark Ages, two great figures lit up the Moslem world in the nineteenth century. These two figures, whose names will forever be inscribed in the history of Islam, were Sheikh Mohammed ‘Abduh, Rector of Al- Azhar University, and al-Sayyid Jaman al-Din al-Afghani, two champions of the Pan-Islamic ‘~ Sheikh Mohammed ‘Abduh (1849-1905), Rector of Al-Azhar University in Cairo and Grand Multi of Egypt, was the spiritual father of the movement to re-interpret Islam in the light of modern conditions. In his fatwa he consistently stressed the need to abandon blind obedience (faq/id) to mediaeval incrustations on Islamic doctrine and to apply individual rationality to the problems facing Islam in the modern world.
 
movement, who awakened and regenerated the Moslem peoples all over Asia from their state of darkness and decline. Although the views of these two heroes differed slightly—al-Sayyid Jamal al-Din al-Afghani was more radical than Sheikh Mohammed ‘Abduh—it was they who revived the political aspects of Islam, especially al-Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, who first inspired feelings of resistance to the danger of Western imperialism in the hearts of the Moslem peoples. It was these two men, again particularly al-Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, who first preached a solid Moslem front against the peril of Western imperialism.
Right up to his death in 1396, al-Sayyid Jamal al-Din al-Afghani, the brave lion of Pan- Islam, worked unceasingly to sow the seeds of Islam everywhere, to sow the seeds of resistance to Western greed, and to implace the conviction that for successful resistance, Moslems would have to “acquire the technique of Western progress and learn the secrets of European power.”
Those seeds have been sown! Like a wave growing larger and stronger, like a wave surging higher and higher, the armies of Pan-Islam have together risen up throughout the Islamic world, and are on the move from Turkey and Egypt to Morocco, the Congo, Persia and Afghanistan… flooding into India and on to Indonesia. . . the wave of Pan-Islam is surging forward everywhere!
So it is that some of our Indonesian people, conscious of their tragic lot, have taken shelter under the green flag, turning their faces towards Mecca and reciting: La haula wala kauwatci i/la Billah?°
At first this movement proceeded slowly, and the path it was to take was not clear; but with time the direction became clearer and more definite, and connections with Islamic movements  in other countries increased. More and more the movement took on an international character; increasingly it based itself on religious law. Hence we should not be surprised that an American professor, Ralston Hayden, wrote that the Sarekat Islam movement “will greatly influence future political events not only in Indonesia, but throughout the Eastern world!” By this statement, Ralston Hayden indicated his conviction as to the international character of Sarekat Islam; he also showed clear insight into events which had not yet occurred when he wrote. Has not the prospect that he pointed to already come to pass? The Islamic movement in Indonesia has already become a branch of the Mu’tamar-i ‘Alam-i Islanii (World Islamic Congress) in Mecca;~ the Indonesian Islamic movement has already plunged into the sea of the Asian Islamic struggle. It has been the increasing emphasis on religion within the Islamic movement that has caused Marxists to be reluctant to align themselves with it. At the same time, the growing prominence of the international aspect of the Islamic movement is regarded by old-fashioned Nationalists as a deviation. Almost all Nationalists, whether “old-fashioned” or “modern.”
Evolutionary or revolutionary, share the conviction that religion should not be involved in politics. On the other hand, “fanatical” Moslems scorn the nationalist politique of the Nationalists and despise the economic politique of the Marxists. They regard a nationalist politique as narrow and an economic poiitique as crudely materialist in short, one finds an almost “perfect” conflict of viewpoints. Nationalists and Marxists both blame Islam for the downfall of the Moslem nations, their present backwardness and the fact that most of them are under Western domination. But they are confused! It is not Islam, but rather its adherents who have been at fault. Seen from a nationalist and socialist perspective, it would be hard to find a civilization comparable in greatness to that of the early Islamic world. The downfall of national greatness, the downfall of Islamic socialism was not brought about by Islam itself, but by the moral downfall of its leaders. Once Amir Mu’awiya insisted on a worldly, dynastic basis for the Caliphate, once the “Caliphs became Kings,” the true nature of Islam was suppressed. As Umar Said Tjokroaminoto once said, “It is Amir Muawiya who must bear the responsibility for the corruption of the true nature of Islam, which was clearly socialist in character.”~’ Furthermore, from the national point of view, is it not true that Islam offers examples of greatness which continue to astound the student of world history and culture?
The downfall of Islam was the result of the moral downfall of its leaders. The West seized the Moslem nations because of the Moslems’ own weakened faith in Cod, and also because the laws of evolution and the social system made Western depredation a historiscire otwendigkeit, a historical necessity. On the other hand, it was their deep faith in God that gave the Riffs the fortitude to resist the cannons of Spanish and French imperialism!’
True Islam contains no anti-nationalist principles; true Islam is not anti-socialist in character. So long as Moslems remain hostile to the ideas of broad-minded Nationalism and genuine Marxism, they will never stand on the Sirothol Mustaqim’~ and they will never be able to lift Islam from its present state of humiliation and decay. I am certainly not saying that Islam accepts Materialism; nor do I forget that Islam transcends national boundaries and is supra- national in character. I am only stating that true Islam is socialist in nature and imposes obligations which are nationalist obligations as well.
Is it not the case, as I have already explained, that true Islam requires all its adherents to love and to work for the country in which they reside, to love and to work for the people among whom they live, so long as that country and its people are part of the Dar al-Islam? Everywhere he went al-Sayyid Jamal al-Din al-Afghani preached nationalism and patriotism —which were denounced as “fanaticism” by his enemies. Everywhere he went this champion of Pan-Islam preached self-respect, preached a sense of pride, preached national honor—which were all instantly labeled “chauvinism.” Everywhere, especially in Egypt, al- ‘~ Mu’awiya ibn Abi Sufyan (602-?) was Governor of Syria under the Caliph Othman. After Othman’s murder, he refused to recognize the full authority of the Caliph Ali and, with the backing of well-trained Syrian troops, became Caliph himself in 660. Realizing that after years of internecine quarrels among the Prophet’s surviving comrades, the political unity of the Moslem community could only be assured by military means and hereditary rule, he exacted a general oath of allegiance to his son Yazid during his own lifetime to ensure a smooth succession after his death. Although the hereditary principle was an offense to many Moslems of the time, Mu’awiya was able to establish securely the foundations of what became the Omayad dynasty.
 
Sayyid Jamal al-Din sowed the seeds of nationalism. It was he who became “the father of every shade of Egyptian nationalism. Al-Sayyid Jamal al-Din was not the only one to sow the seeds of nationalism and love of country. Arabi Pasha~ ,Mustafa Kamil, Muhammad Farid Bey,’~ All Pasha, Al-imed Bey Agayeff/° Mohanied Ali and Shaukat Ali were all great Moslem leaders who taught love of country: all were propagandists of nationalism in their respective countries! May these leaders serve as examples for those Moslems amongst us who are “fanatical,” and narrow-minded, and who refuse to recognize their obligation to align themselves with the nationalist movement. Let these Moslems remember that their anti-infidel movement will certainly give rise to a feeling of nationalism, since the groups they call infidel are mostly people from foreign countries, not people from Indonesia! An Islam which opposes a genuine national movement is no true Islam; this type of Islam is an “old-fashioned” Islam which does not understand the trend of the times. Thus I am convinced that we can bring Moslems and Marxists together, although basically the two groups differ widely in their principles.
My heart is sad when I remember the dark and gloomy atmosphere in Indonesia some years ago, when I was witness to a fratricidal struggle, when I was witness to the outbreak of bitter hostilities between Marxists and Moslems, when I was witness to the division of our movement’s forces into two warring factions. It is this struggle which fills the darkest pages of our history. It was this fratricidal struggle that dissipated all the force of our movement, which should otherwise have grown stronger and stronger. It was this struggle which set back our movement several decades.
Alas! How strong our movement would now be if this struggle had not occurred! Our ranks would surely not be in their present disarray. Our movement would surely have made progress in spite of all obstructions. I am convinced that there is no fundamental barrier to friendship between Moslems and Marxists. I have already explained that true Islam has a socialist quality. Even though this socialist quality is not necessarily Marxist in orientation, even though we know that Islamic socialism does not have the same foundation as Marxism, since Islamic socialism is based on spirituality whereas Marxist socialism is based on Materialism—nonetheless, for our purposes it is enough to show that true Islam is essentially socialistic.

Moslems must not forget that the Marxist materialist view of history has often served to guide them in confronting the difficult and complicated economic and political problems of the world. They must also not forget that the Historical-Materialist method for explaining events which have already occurred here on this earth is also a method for predicting events that are to come—and thus may be very useful to their group.
Moslems must never forget that capitalism, the enemy of Marxism, is also the enemy of Islam, since what is called surplus value in Marxist doctrine is essentially the same as usury from the Islamic viewpoint. Theoretically, surplus value is the appropriation of the product of another’s labor and denying the workers theft proper share of the value they produce. This theory of surplus value was formulated by Karl Marx and Priedrich Engels to explain the origins of capitalism. Surplus value is the inner essence of every capitalist system; by combating surplus value, Marxists combat the very roots of capitalism. The true Moslem accordingly comprehends immediately that it is wrong for him to be hostile towards Marxism, which combats the system of surplus value, since he does not forget that true Islam combats this system too, that true Islam strictly prohibits usury and the collection of interest. He understands that usury is basically no different from what the Marxists  view as surplus value.
“Devour not usury, doubled and redoubled, and fear you Cod; haply so you will prosper.” So it is written in the Koran, sunrh Al ‘Imran verse 129. A broad-minded Moslem, a Moslem who understands the requirements of our struggle, will certainly agree to an alliance with the Marxists, since he is aware that usury and the collection of interest are forbidden by his religion. He is aware that this is the Moslem way of attacking the very foundations of capitalism, for, as we have previously explained, usury is the same as surplus value, the inner essence of capitalism. He is aware that, like Marxism, Jslam, with its “belief in God,” with its “recognition of the Kingdom of Cod,” is a protest against the evils of capitalism.
The “fanatical” Moslem, who is hostile to the Marxist movement, is a Moslem who does riot
know what his own religion forbids. Such a Moslem does not understand that true Islam, like Marxism, forbids the capitalistic hoarding of money, forbids the accumulation of wealth for selfish ends. He forgets the verse in the Koran: “Those who treasure up gold and silver, and do not expend them in the way of Cod,—give them the good tidings of a painful chastisement!” He Idoes not understand that, like the Marxism he opposes, Islam hereby attacks the existence of capitalism in the clearest possible terms!
There are many other obligations and tenets of Islam which are identical with the aims and purposes of Marxism. Doesn’t the Islamic obligation to pay tithes, an obligation on the rich to share their wealth with the poor, essentially correspond to the sharing of wealth required by Marxism —of course, to be carried out in the Marxist fashion? Doesn’t Islam share the principle of “liberty, equality and fraternity” with the Marxism that many Moslems oppose? Hasn’t true Islam already led “all mankind to the fields of liberty, equality and fraternity”? Didn’t the Prophet of Islam himself teach equality with the words: “I am only a mortal, the like of you; it is revealed to me that your God is One God “~ Isn’t it fraternity which is commanded by verse 13 of the surah Al-Hudjarat, which reads: “0 mankind, We have created you male and female, and appointed you races and tribes, that you may know one another.”~ Isn’t it true that fraternity should not remain merely “fraternity in theory ? “ and that this is acknowledged by non- Moslems too? Isn’t it a pity that some Moslems are hostile to a movement whose principles are also “liberty, equality and fraternity”? I hope that those moslems who refuse to ally themself with the marxist will remember  that their movement, like the Marxist movement, is an echo or a reverberation of the agony of the Indonesian people, whose lives are becoming harder and harder, whose existence is growing ever more bitter. They should remember that there is wide congruence in the ideals and great similarity in the demands of their movement and that of the Marxists. They should follow the example of the envoy of the Islamic Kingdom of Afghanistan, who, when asked his views by a Marxist newspaper replied that though he himself was not a Marxist, he admitted to being a “true friend” of the Marxists, since he was a bitter enemy of European capitalism.
What a pity it will be if the Islamic movement in Indonesia remains hostile towards the Marxist movement. We have never had movements in Indonesia which have been such genu-inely people’s movements as the Islamic and Marxist movements! We have never had movements which have shaken the people to their marrow as these two movements have done.
How tremendous it would be if these two movements, which have become an essential part of the people’s everyday existence, could flow together to form one mighty torrent! Happy are those Moslems who have seen the light and who are willing to unite! Happy are they, for they are truly carrying out the commandments of their religion!
As for those Moslems who refuse to unite and who believe that their attitude is right, alas, I only hope they can justify it before God!
MARXISM
At the sound of this word, I see in my mind’s eye throngs of suffering people from every nation and country, with wan faces and thin bodies, clothed in rags; I see before me the defender and champion of these suffering masses, a philosopher whose steadfast heart and consciousness of his inner strength “remind me of the invincible, superhuman heroes of ancient p. German legend,” a “colossal” figure who is rightly called the “Grand Master” of the labor movement: Heinrich Karl Marx. From his earliest youth until the day of his death, this extraordinary man never ceased to defend the poor, to show them the reasons for their misery, and to prove to them that victory would certainly be theirs in the end. Never downhearted, never tired, he labored in their defense: he was sitting in a chair in front of his desk, when he drew his last breath in 1883. It is as if I can hear his voice resounding like thunder around the world, as he made his appeal in 1847: “Workingmen of all countries, unite!” And indeed, history offers no example of a man whose ideas have so rapidly commanded the acceptance of a social group as have the views of this champion of the laboring masses. From tens to hundreds, from hundreds to thousands, from thousands to ten thousands, to hundreds of thousands, to millions: so his followers have increased! For although his theories are “difficult” for clever intellectuals, “he can easily be understood by the wretched and oppressed, by the poor whose thoughts are full of their misery.”
Unlike the other socialists, who believed that their ideals could be realized through friendship between workers and employers, unlike, for example, Ferdinand Lassalle whose cry was a cry of peace, Karl Marx in his writings never once touched on the subject of love or friendship; rather he set forth a concept of struggle between groups, a concept of class struggle. He taught that the liberation of the workers would only come about through relentless struggle against the bourgeoisie, a struggle made inevitable by the very existence of the capitalist order.

Although my readers surely all know a little of Marx’s teachings, it may be useful to remind them here of some of his achievements as a philosopher: he undertook a study of the process of thought based on materialism (Dialectical Materialism); he put forward the theory that the value of commodities is determined by the quantity of work required to produce them, in other words that work is the werthildende Substanz, the value-creating substance of commodities (the labor theory of value); he developed the idea that the value created by the workers in the production of commodities is greater than what they receive in the form of wages (surplus value); he carried out a study of history based on materialism, teaching that “it is not consciousness which determines objective conditions; on the contrary, objective conditions with regard to social relations determine consciousness” (the materialist conception of history); he expounded the theory that because surplus value is transformed into capital, over time the concentration of capital becomes greater and greater (accumulation of capital) as small capital holdings are consolidated into larger units (centralization of capital). Because of competition, small enterprises are squeezed out by larger enterprises until ultimately only a few giant enterprises are left (concentration of capital); and he argued that under the capitalist order the lot of the workers becomes increasingly miserable, while their hatred for this order becomes increasingly violent (the theory of increasing misery). These are his main theoretical achievements; lack of space prevents me from giving any fuller explanation to readers not yet familiar with them.
Although his enemies, among them the anarchists, deny these achievements of Marx; although as early as 1825, Adolphe Blanqui used the historical materialist method in stating that history “determines events,” while economics “explains the causes of events”; although the theory of surplus value had originated earlier with such thinkers as Sismondi, Thompson and others; although his theory of capital concentration and the labor theory of value contain elements which cannot be defended against the criticisms of his opponents, who indefatigably search for weaknesses; despite all this, it is unquestionable that the system of Karl Marx has no little significance in its general outline, and is of vast importance in some of its specific features. It is also unquestionable that although these theories originated in part with earlier thinkers, it was Marx who, despite the fact that his language is difficult and obscure to the upper class, elucidated these theories with great clarity, so that they can easily be grasped by the ‘wretched and oppressed” and their champions. Such people immediately comprehend his theory of surplus value without any difficulty—indeed they see it as a self-evident truth. They know very well that their employers get rich quickly because they do not turn over to them the whole
product of their labor. They immediately understand that economic conditions and structures are the factors that determine a man’s character, his intelligence, his religious beliefs, etc. They know that “er ist was er isst’° They see at once that capitalism will certainly be destroyed in the end, that it will inevitably disappear and be replaced by a juster social order, and that what “the bourgeoisie” “are producing, above all, are their own grave-diggers.”
These deep and difficult theories have penetrated the workers to the core, both in Europe and America. “Is it not miraculous indeed that this belief has now established itself in the hearts of millions, and that there is no power on earth which can eradicate it?” Like seeds scattered in all directions by the wind, which sprout wherever they fall, the seeds of Marxism have taken root and are sending up shoots; everywhere the bourgeoisie are preparing themselves and trying to crush the “proletarian threat,” a plant that grows stronger day by day. Some of the seeds scattered through Europe have been carried by the cyclone of our times towards the equator. .. and on to the East where they are dropping down and sprouting up among the hills and mountains which extend throughout the “emerald belt,” the archipelago whose name is Indonesia. Every day the air in the West quivers with the sound of the ‘Internationale” and the reverberations are so great that they echo and resound as far as the East. The Marxist movement in Jndonesia has been characterized by hostility towards movements with a Nationalist orientation and hostility towards movements based on Islamic principles. Indeed some years ago this hostility broke out in a quarrel over conflicting beliefs, a quarrel over conflicting attitudes, a quarrel between brothers, a quarrel, which, as I have previously explained, discouraged and disheartened all those who gave first priority to harmony, all those who understood that in this kind of conflict lies defeat. Bury nationalism, bury the politics of love of country, abolish the politics of religion! Such, more or less, was the battle cry one heard. They would say: Didn’t Marx and Engels state that “the workers have no fatherland”? Isn’t it written in The Communist Manifesto that “communism abolishes religion”?
Didn’t Bebel declare that “It was not God who created man, but rather man who created God”?~
On the other hand, the Nationalist and Moslem groups never tired of abusing the Marxists, denouncing their movement as being “in league” with foreigners, and as “denying” the existence of Cod. They poured scorn on the movement as taking its lead from Russia, which, in their view, was totally bankrupt and had proved incapable of putting its utopian ideals into effect. They ridiculed these ideals as the cause of the anarchy, famine, and disease which claimed the lives of approximately fifteen million people, a figure greater than the total number of persons killed in the recent world war
So the quarrel stood some years ago—with growing mutual recriminations between the leaders of these movements, growing mutual misunderstanding and growing mutual avoidance. But the new Marxist tactics do not reject cooperation with Moslems and Nationalists in Asia. As a matter of fact, they call for the support of genuine Nationalist and Islamic movements. Those Marxists who are still hostile to militant Nationalist and Islamic movements in Asia have not adjusted to the new times and do not understand that Marxist tactics have changed accordingly.
Again, however, those Nationalists and Moslems who denounce the “bankruptcy” of Marxist concepts and point to anarchy and famine as the result of “applying” Marxist concepts,
~ The Indonesian text has er ist was er ist (man is what he is); presumably this is a typographical error, since the sense of the previous sentence suggests that Sukamo is aware that Feuerbach’s famous axiom (Mann ist was er isst) means ‘man is what he eats.’
show that they do not understand these concepts and that they have failed to grasp the real reasons for the setbacks in their “application:. Does not Marxism itself teach that socialism can only be fully realized when all the major states have been ‘socialized”? Doesn’t the present situation differ radically from the pre-conditions required for the fulfillment of Marxist goals? To be fair in judging the “application” of Marxist concepts, we must remember that “bankruptcy” and “anarchy” in Russia have been accelerated by the blockade imposed by her
enemies; that they have been aggravated by the attacks launched against her in fourteen places by hostile powers such as England and France, as well as by Generals Kolchak, Denikin, Yudenitch and Wrangel;~ and that the situation was further worsened by the venomous propaganda directed against her by aLmost every newspaper in the world.
In my opinion, her enemies must be held equally responsible for the death of fifteen million sick and starving people, since they supported the attacks of Koichak, Denikin, Yudenitch and Wrangel with money and supplies. The same England which spent millions to support attacks on her former ally “defiled the name of England before the whole world by refusing to give any assistance to relief-work” among the sick and hungry. At the time this catastrophe occurred, America, Rumania, and Hungary had wheat surpluses so great that the grain was used for fuel, while in Russia, in the district of Samara, people were eating the flesh of their own children to stave off famine.
One can only respect the impartial verdict of H. G. Wells, a distinguished British author and by no means a Communist, who wrote that if the Bolsheviks “had not been incessantly harassed, perhaps they would have been able to complete an experiment of the greatest value to mankind. .. . But they were incessantly harassed!”.
I am not a Communist, I favor no side! I only favor Unity—Indonesian Unity—and friendship between all our different movements. I mentioned earlier that contemporary Marxist tactics are different from those of the past. The old tactical stance, which was violently anti-nationalist and anti-religious, especially in Asia, has changed radically: what was once bitter hostility has become friendship and support. We can today see friendship between Marxists and Nationalists in China, and between Marxists and Moslems in Afghanistan”
Marxist theory has also changed, and so it should. Marx and Engels were not prophets who could establish systems applicable for all time. Their theories have to be modified with changing conditions; their concepts must be adapted to a changing world if they are not to become bankrupt. Marx and Engels themselves understood this very well. In their writings they often noted changes in their views in accordance with the objective changes taking place at the time they lived. Compare their views of 1847, compare, for example, their interpretations of the term Verelendung (increasing misery) in The Communist Manifesto and in Das Kapital! The change in conception, or the change in emphasis is immediately obvious. The social democrat Emile Vandervelde was perfectly correct when he stated that “revisionism did not begin with Bernstein, but with Marx and Engels themselves.”~’~ It should perhaps be pointed out that the friendship between Marxists and Moslems in Afghanistan to which Sukarno here refers, was not internal political cooperation between Afghan Marxist and Islamic groups, but an external alliance between Kabul and Moscow which resulted from the anti-British and pro- Russian policies of the Afghan ruler Amanullah Khan after 1919.
These changes in theory and tactics account for the support given to genuine nationalist movements, especially in Asia, by the newer Marxists, whether of the “moderate” or “militant” variety. They understand that in the countries of Asia, where no proletariat as yet exists in the European or American sense, their movement must be adapted to the characteristic features of Asian society. They understand that the Marxist movement in Asia must employ different tactics from those used by the Marxist movement in Europe or America(46), and must “cooperate with the ‘petty-bourgeois’ parties, because here the main objective is not power, but the struggle against feudalism.”
For the workers in Asian countries to be able to have the freedom to build true socialist movements, these countries must be free, must possess national autonomy. “National autonomy is an objective for which the proletarian struggle must aim, because it is an essential precondition for pursuing its ultimate goals,” says Otto Bauer. This is why national autonomy constitutes one of the very first priorities for the workers’ movements in Asia. This is why the workers of Asia must cooperate with and support all movements which are fighting for national autonomy, irrespective of the principles which they embrace. This is also why the Marxist movement in Indonesia must support our Nationalist and Islamic movements, which have made this autonomy their goal.
Marxists must remember that their movement cannot help but arouse feelings of Nationalism in the hearts of Indonesian workers, since most capital in Indonesia is foreign capital. Furthermore, the very nature of their movement—opposition to capital—stirs up feelings of discontent in the hearts of the workers, who are “at the bottom,” against the people “at the top,” and stimulates support for a politics of national power of the people themselves. Marxists must bear in mind that the feeling of internationalism is certainly not as strong in Indonesia as it is in Europe. Indonesian workers have absorbed the concept of internationalism primarily as a matter of tactics. Moreover, the Indonesian people’s attachment to their native soil and their very limited financial resources have meant that only a few determined people have been willing to leave Indonesia in search of work in other countries, with the conviction that ubi bone, ubi patria (where conditions are good, there is my country)—unlike the worker in Europe who has become a man without a permanent home and without a permanent fatherland.
If they keep all this in mind, the Marxists will surely see the error of fighting the Nationalist
movements of thieir own people. They will surely recall the examples of Marxist leaders in other countries who have cooperated with the nationalists; they wilt surely think of the Marxist leaders in China who gladly support the efforts of the Nationalists because they are aware that China’s prime need is for national unity and national independence.
Along this same line, it is a mistake for Marxists to be at loggerheads with a genuine Islamic movement. It is quite inappropriate for them to attack a movement which, as I have already pointed out, takes an openly anti-capitalist position. It is incorrect for them to attack a movement which clearly condemns usury, interest, and surplus value. It is misguided of them to attack a movement which explicitly pursues the goals of liberty, equality and fraternity, which explicitly pursues national autonomy. And the reason why it is a mistake to take such position is that the new marxist tactics towards religion are quite different from the old. The  new marxism is quite different from the marxism of 1847; which through the comunist manifesto declared that religion must be abolished.
We must distinguish historical materialism from philosophical materialism; and we must remind ourself that the purpose of the former is different from that of the latter. philosopical materialism addresses the question: what is the relationship between thought and the  matter, how does thought arise? Historical Materialism answers the question of why thought in any given period has such and such characteristics. Philosophical Materialism poses questions about the existence of thought; Historical Materialism asks why thought changes. Philosophical Materialism seeks the origin of thought; Historical Materialism studies its development.
Philosophical Materialism is philosophical; Historical Materialism is historical. These two concepts are constantly being confused and confounded with each other by the enemies of Marxism in Europe, especially by the churches. In their anti-Marxist propaganda, they assiduously mix up these two perspectives and accuse Marxists of teaching that thought is simply the product of the brain, just as spittle is the product of the mouth, and bile is the product of the spleen. They never stop calling Marxists worshippers of things, or people whose God is Matter. c
This is the origin of the European Marxists’ hatred for the churches, the origin of their hostility to religious groups. Their hostility has become alithe more bitter, their hatred has become all the more violent as the religious groups have used their religion for the protection of capitalism, have exploited their religion to defend the interests of the ruling class, and have manipulated their religion to pursue ultra-reactionary policies.
This hatred for religious groups, which has its origins in the reactionary attitude of the churches, has been turned by the Marxists against the Moslems, who have a very different attitude and completely different characteristics from the religious groups in Europe! Here Islam is the religion of the enslaved, here Islam is the religion of the masses “at the bottom.” By contrast, there the Christians are the free, there the Christians are the people “on top.” inevitably a religion that is anti-capitalist, a religion of the enslaved, a religion of the masses “at the bottom,” a religion that demands the quest for freedom, a religion that forbids the existence of people “at the bottom”—a religion of this kind will unquestionably create attitudes which are not reactionary, and will undoubtedly generate a struggle which in several respects is identical with the struggle of the Marxists.
Therefore, if Marxists will remind themselves of the differences between the churches in Europe and Islam in Indonesia, they will surely stretch out their hands and say: “Brother, let us be one.” If they value the examples of their comrades who are cooperating with Moslems in other countries, they will surely follow these examples. And if they also cooperate with the Nationalists, they can declare in all serenity: “We have done our duty.” By fulfilling the duties imposed by the new Marxism, by taking into account all the necessary changes in basic theory, and by carrying out all the necessary changes in tactics, they can call themselves true and sincere defenders of the people—they can really call themselves the salt of the earth.
But as for the Marxists who oppose unity, the Marxists who are conservative in theft theory and out of date in their tactics, the Marxists who oppose genuine Nationalist and Islamic movements, such Marxists should not feel insulted if they are called the bane of the people.
This article is now almost at an end. I have tried to show, in however imperfect a manner, that, in the colonized countries, the concepts of Nationalism, Islam and Marxism coincide in several respects. However inadequately, I have tried to point to examples of leaders in other countries. But I am convinced that I have demonstrated very clearly my desire for unity. I am certain that all Indonesian leaders are aware that only Unity will lead us to Greatness and Independence. I am further persuaded that although my thoughts may not meet all the wishes of every group, they do show that Unity can be attained. It only remains now to create an organization which can realize this Unity; it only remains to look for an organizer who can make himself the Mahatma of this Unity. Does not Mother Indonesia, who has such sons as Umar Said Tjokroaminoto,  Tjipto Mangunkusumo and Semaun — does not Mother Indonesia also have a son who can become the Champion of this Unity?
We must be prepared to receive, but we must also be ready to give. This is the secret of Unity. Unity cannot exist if each group does not give a little, If we keep in mind that the strength of life lies not in receiving, but in giving; if we keep in mind that in discord lies the seed of our enslavement; if we keep in mind that mutual hostility is the origin of our ‘via dolorosa’; if we keep in mind that the Spirit of Our People is still strong enough to lift itself up towards the One ray of Light shining in the midst of the darkness that surrounds us—then surely Unity will be achieved, surely the ray of Light will be reached. For the Light is near.
Suluh Indonesia Muda, 1926

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lombok Tempo Dulu dalam Bingkai

Pasar Masbagik tahun 1929 Penganut Bodha di Lombok tahun 1911 Sekelompok orang di Masbagik tahun 1929 Taman Narmada tahun 1920 Taman Mayura tahun 1894  Pasar Masbagik tahun 1929 Pasar Hewan Masbagik tahun 1929  Perempuan Keturunan Bali di Lombok tahun 1910  Perempuan Sasak tahun 1920 Gendang Belek pada tahun 1929 Seorang Datu Sasak tahun 1920 Anak Agung Ketut 1894 Perang Cakranegara tahun 1894 karya J. Hoynck van Papendrecht dan J.B. Wolters. Sumber: Tropenmuseum

Manusia Ke-7 Miliyar

Pada tanggal 31 Oktober 2011 seorang bayi perempuan yang lahir di Manila, ibukota Filipina, dipilih oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk secara simbolis mewakili manusia ke-7 miliyar di muka bumi. Untuk menandai tonggak populasi global ini, tanggal 31 Oktober dinamakan Hari Tujuh Miliyar, namun dengan adanya laporan satu miliyar orang yang mengalami kelaparan pada saat itu, debat pun terjadi seputar apakah bumi mampu mendukung kehidupan begitu banyak manusia. Sebelum abad ke-17, populasi dunia tumbuh begitu lambat, namun kemudian melesat begitu pesat setelah tahun 1850. Hal ini sebagian diakibatkan oleh pengurangan jumlah anak-anak yang mati di usia bayi, dan juga menurunnya angka kematian secara keseluruhan dimana teknologi pertanian baru meningkatkan persediaan makanan dan menurunkan risiko kelaparan. Pertumbuhan industrialisasi yang begitu pesat dan kemajuan di bidang obat-obatan dan kedokteran meningkatkan kesehatan and standar hidup masyarakat. Memasuki tahun 1927, an

Lombok Tempo Dulu

Zaman Majapahit Tidak ada catatan yang jelas sejak kapan Pulau Lombok dihuni oleh manusia. Selain itu bukti-bukti peradaban zaman purba di Pulau Lombok sangat minim. Namun pada abad ke 14, terdapat bukti bahwa Lombok telah memiliki hubungan dengan Jawa. Hal ini tercantum dalam kitab Nagarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 M oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab yang berbahasa jawa kuno itu, diceritakan secara singkat tentang Lombok Mirah dan Sasak Adi . Dalam pupuh ke 14 tertulis sebagai berikut: “Muwah tang I Gurunsanusa ri Lombok Mirah lawantikang Sasak Adi nikalu kebayian kabeh Muwah tanah I Bantayan Pramuka Bantayan len Luwuk teken Udamakatrayadhi nikayang sanusa pupul.” Kerajaan Selaparang, yang terletak di Lombok Timur, kemungkinan adalah salah satu kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Masyarakat yang ada di daerah Bayan dan Sembalun, yang terletak di utara Lombok, percaya bahwa mereka adalah keturunan orang Majapahit. Sebagian masyarakat Sas