Langsung ke konten utama

Soekarno, Nasionalisme, Agama dan Komunisme

Latar Belakang
Sejak masa awal perjuangannya, Soekarno telah memegang pandangan bahwa untuk mewujudkan revolusi Bangsa Indonesia, yang dibutuhkan adalah Nasionalisme, Agama dan Marxisme. Ketiga hal ini menjadi tema utama dalam tulisannya saat akan membentuk Persyerikatan Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927. Pandangan yang menjadi awal perjuangannya ini kemudian, ia promosikan lagi pada tahun 1960 yang menyebabkan kekuasannya mulai goyah.
Pertanyaan
Mengapa pandangan itu, yang mencuatkan nama Soekarno, pada akhirnya menjatuhkan beliau?


Rumusan Masalah
Perang Dunia II terjadi pada tahun 1939. Namun bibitnya sebenarnya telah terjadi jauh sebelum itu yakni sejak tahun 1935. Yang paling mencolok justru adalah kejadian-kejadian sebelum Perang Dunia II yakni ketegangan demi ketegangan yang terjadi antara gagasan Nasionalisme dengan Komunisme. Nasionalisme didukung sebagian besar oleh kalangan militer dan loyalis kerajaan. Komunisme didukung oleh para buruh dan petani kecil. Nasionalis terinspirasi oleh kejayaan kerajaan di masa lalu, sedangkan komunisme didorong oleh gagasan yang ingin membentuk masyarakat tanpa kelas. Gerakan fasisme yang dibentuk oleh Musolini di Italia bertujuan untukk menghalau semua bentuk gerakan komunis yang biasanya dilakukan dengan aksi mogok. Perang sipil di Spanyol terjadi antara Fron Populer, yang beraliran komunis, dengan Partai Falange yang terdiri dari nasionalis yang masih loyal terhadap raja. Partai Komunis Cina dibawah pimpinan Mao Tze Dong terus mendapat perlawanan dari Koumintang (nasionalis) dengan didukung oleh Tentara Kekaisaran Jepang. Pemerintah Nazi di Jerman mengidentikkan Yahudi dengan Komunisme, sehingga melarang keduanya di daerah yang dikuasai oleh Nazi Jerman.
Namun Soekarno ingin menyatukan keduanya (Nasionalisme dan Komunisme), dan akhirnya terbukti gagal pada tahun 1965. Pada era Soekarno, tampak ada empat kubu dalam masyarakat Indonesia yakni kubu nasionalis, komunis, militer dan islam. Kubu nasionalis dan komunis pada masa ini tampaknya bersekutu. Hal ini ditandai dengan dekatnya orang-orang nasionalis dengan orang-orang komunis seperti kedekatan Soekarno dengan D.N. Aidit dan kedekatan Partai Nasiona Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedekatan nasionalis dan komunis ini ditandai dengan tindakan represif yang dilakukan terhadap gerakan islam (baik oleh kalangan nasionalis maupun oleh komunis). Muncullah islam sebagai musuh bagi sekutu ini. Setelah itu muncul isu Dewan Jendral versus Angkatan Kelima. Dewan Jendral adalah gerakan yang dilakukan oleh para jendral TNI Angkatan Darat yang bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno. Angkatan Kelima adalah angkatan bersenjata setelah Angkatan Darat, Angakatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian yang terdiri dari buruh dan petani yang dipersenjatai, yang konon katanya dibentuk untuk melakukan pemberontakan. Kedua hal ini masih dalam tahap isu dan tidak ada tindakan nyata namun telah memunculkan rasa saling curiga antara pihak militer dengan komunis. Hilangnya beberapa jendral Angkatan Darat pada tanggal 1 Oktober 1965 menyulut kemarahan TNI Angkatan Darat (AD) dan menuduh PKI adalah dalangnya. Muncullah berbagai tindakan anarkis massa di berbagai daerah, kemudian TNI AD dengan dalih menertibkan kekuasaan berdasarkan SUPER SEMAR, melakukan penangkapan terhadap seluruh aktifis PKI di seluruh Indonesia. Sebagian besar dari mereka dibunuh atau di buang di Pulau Buru. Tindakan TNI AD ini sangat didukung oleh pihak islam yang selama ini merasa terdesak oleh eksistensi komunis. Setelah berhasil menumpas komunis, pihak militer (TNI AD) kemudian melakukan”penertiban” terhadap orang-orang nasionalis karena dianggap dekat dengan PKI, dimana salah satu korban “penertiban” tersebut adalah Soekarno sendiri.


Analisis
Gagasan Soekarno pada tahun 1930 tentang kombinasi Nasionalisme, Agama dan Marxisme untuk membentuk Bangsa Indonesia yang merdeka memang masuk akal secara nalar. Namun pada prakteknya kemudian di berbagai Negara lainnya, kaum nasionalis mengaggap komunis merusak simbol-simbol kebanggaan dan martabat berbangsa seperti kerajaan atau kekaisaran serta kekuatan militernya yang lebih kuat dan lebih tinggi daripada bangsa lainnya. Kaum nasionalis sangat terobsesi dengan kejayaan masa lalu. Kejayaan yang diperhitungkan adalah kejayaan menguasai daerah lainnya dengan kekuatan militer. Sedangkan komunis bercita-cita membangun masyarakat yang sejahtera dengan merata tanpa memandang latar belakang dan keturunan. Tidak ada bangsa atau masyarakat yang lebih tinggi dan lebih rendah daripada lainnya. Kedua hal ini tentu saja bertentangan karena yang satu ingin lebih tinggi daripada yang lainnya (nasionalis) sedangkan yang satunya lagi ingin agar semuanya sama rata (komunis).
Pada prakteknya komunis di berbagai Negara banyak menyerang institusi keagamaan karena dianggap mendukung terbentuknya kelas dalam masyarakat dan menghambat pemerataan. Hal itu pula yang diterapkan di Indonesia oleh PKI. Padahal kalau PKI jeli, seharusnya yang lebih didekati adalah kaum agamawan islam di Indonesia, karena gagasan dalam islam tidak ada pengkelasan, bahkan islam berpandangan bila perlu kesenjangan ekonomi dipersempit. Padahal kaum muslim di Asia Tengah adalah pendukung Revolusi Bolzevik.
Namun sejak awal Indonesia atau Nusantara ini, terutama Jawa, memang merupakan bangsa yang menganut paham “Kekuasaanisme” dimana setiap keputusan yang diambil didasarkan pada siapa yang berkuasa saat itu, bukan pada ideologi atau gagasan awal. Contohnya adalah pendekatan yang dilakukan PKI terhadap PNI tampaknya lebih didasarkan pertimbangan bahwa PNI adalah partai yang berkuasa saat itu, bukan didasarkan pada kemiripan gagasan.


Kesimpulan
Entah bagaimana jadinya bangsa ini seandainya pada saat itu Komunis yang berkoalisi dengan Islam bertarung dengan Nasionalis yang dukung oleh Militer. Mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa terbagi dua seperti yang pernah dialami Polandia, Vietnam, Yaman, Jerman atau Korea.


Background
Since the early days of struggle, Sukarno had held the view that to realize the revolution of the Indonesian Nation, what is needed is Nationalism, Religion and Marxism. This became a major theme in his writings as to form Persyerikatan Nasional Indonesia (PNI) in 1927. It is promoted again in 1960, made his power began to falter.

Question
Why this view, which raises the name of Sukarno, eventually dropping him?

Discussion
World War II occurred in 1939. But the seed has actually occurred long before that ever since 1935. The most striking fact is the events prior to World War II, namely the tension for the tension between the idea of ​​nationalism with Communism. Nationalism is supported largely by the military and the royal loyalists. Communism is supported by the laborers and peasants. Nationalist inspired by the glory of the kingdom in the past, while communism is driven by the idea that want to form a classless society. Mussolini's fascism in Italy form a movement that aims to banish all forms of the communist movement, which is usually done with a strike. Civil war in Spain occurred between Popular Front, a communist wing, with the Falange Party of nationalists who are still loyal to the king. Communist Party of China led by Mao Tze Dong continue to get resistance from the Kuomintang (nationalist), supported by the Imperial Japanese Army. Nazi government in Germany identified the Jews with Communism, so it ban both in areas controlled by Nazi Germany.

But Sukarno wanted to unite both (Nationalism and Communism), and finally failed in 1965. In the Sukarno era, it appears there are four strongholds in Indonesian society, namely the strongholds of nationalist, communist, military and Islam. Nationalists and communists in this period seems allied. It is characterized by the closeness of the communist with nationalists such as Sukarno's the closeness to the DN Aidit and the closeness of National Party of Indonesia (PNI) with the Communist Party of Indonesia (PKI). Nationalist and communist closeness is characterized by repressive action undertaken against the Islamic movement (by both the nationalists and the communists). Islam emerged as an enemy of this ally. After that comes the issue of General Council and the Fifth Force. General Council is a movement that carried out by the Generals of the Army which aims to overthrow Sukarno. Fifth Force is the armed forces after the Army, Navy, Air Force and the Police which made ​​up of armed workers and peasants, who reportedly said was formed to insurrection. Both of these are still in issue and no real action but it has led to mutual suspicion between the military with the communists. The loss of some Army generals on October 1, 1965 infuriated the Army (AD) and accused the PKI was the mastermind. Comes the anarchist mass actions in various regions, then the Army under the pretext of discipline based on the Super Semar power, making arrests on all PKI activists throughout Indonesia. Most of them were killed or disposed of on the island of Buru. Army action is strongly supported by the Islamic party that had felt pressured by the existence of the communists. After successfully crushing the communists, the military (TNI AD) and then do the "policing" of the nationalists because they are close to the PKI, where one of the victims of "policing" is Sukarno himself.

Analysis
The idea of ​​Sukarno in 1930 on a combination of Nationalism, Religion and Marxism to form an independent nation Indonesia logically makes sense. But then in practice in many other countries, the nationalists consider communists destroy the symbols of pride and dignity as a nation such as royal or imperial and military forces that are stronger and taller than any other nation. The nationalists are obsessed with the past glory. Triumph that counts is the triumph of mastering other areas with military force. While the communist dreams of building a prosperous society with equal, regardless of background and ancestry, in which no nation or people of higher and lower than the other. Both of these are of course contradictory because one wanted to be higher than the other (nationalist) and the other wants to keep things equal (communist).
In practice many communists in various countries attacking religious institutions because they supported the creation of classes in society and hinder equity. It is also applied in Indonesia by the PKI. However, if the PKI observant, they should be closer to the Islamic clerics in Indonesia, because the idea in Islam does not support the existence of class society, even the Islamic view that the economic gap should be narrowed if necessary. This is why the Muslims in Central Asia became supporters of Bolzevik Revolution in 1917.
But from the beginning, Indonesia, especially Java, is indeed a nation that adopts "Kekuasaanisme" where every decision is based on who is in power then, not on the ideology or original ideas. An example is the approach taken by the PKI against the PNI, which seems more based on the consideration that the PNI is the ruling party at that time, not based on similarity of ideas.

conclusion
I wonder what would happen to this nation at that time if the Communist allies with Islam which fought to the Nationalists that supported by the military. Perhaps the Republic of Indonesia can be divided as ever experienced by Poland, Vietnam, Yemen, Germany or Korea.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Beras Mukjizat

Pada tahun 1960, sebuah beras mukjizat jenis baru yang dikenal dengan nama IR-8 dikembangkan di International Rice Research Institute di Filipina. Dengan siklus tumbuhnya yang jauh lebih singkat, produk baru ini membawa perubahan yang dramatis dalam dunia pertanian. Di negara-negara seperti Vietnam, mereka mampu menyelesaikan dua masa tanam padi dalam satu tahun, dimana secara tradisional hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun. Inovasi memukau seperti ini dalam bidang sains agrikultur memungkinkan negara-negara yang miskin secara turun-temurun, terutama di Asia, untuk memenuhi pangan mereka sendiri dan memenuhi kebutuhan penduduk mereka yang terus bertumbuh. Revolusi Hijau tidak terjadi tanpa disertai kontroversi, salah satunya karena melibatkan pestisida kimiawi. Pada tahun 1940an, insektisida DDT (Dichloro-diphenyl-trichloroethane) diperkenalkan sebagai salah satu cara untuk mengendalikan varietas penyakit seperti malaria yang dibawa oleh nyamuk, dengan penanganan tu

Lombok Tempo Dulu dalam Bingkai

Pasar Masbagik tahun 1929 Penganut Bodha di Lombok tahun 1911 Sekelompok orang di Masbagik tahun 1929 Taman Narmada tahun 1920 Taman Mayura tahun 1894  Pasar Masbagik tahun 1929 Pasar Hewan Masbagik tahun 1929  Perempuan Keturunan Bali di Lombok tahun 1910  Perempuan Sasak tahun 1920 Gendang Belek pada tahun 1929 Seorang Datu Sasak tahun 1920 Anak Agung Ketut 1894 Perang Cakranegara tahun 1894 karya J. Hoynck van Papendrecht dan J.B. Wolters. Sumber: Tropenmuseum

Manusia Ke-7 Miliyar

Pada tanggal 31 Oktober 2011 seorang bayi perempuan yang lahir di Manila, ibukota Filipina, dipilih oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk secara simbolis mewakili manusia ke-7 miliyar di muka bumi. Untuk menandai tonggak populasi global ini, tanggal 31 Oktober dinamakan Hari Tujuh Miliyar, namun dengan adanya laporan satu miliyar orang yang mengalami kelaparan pada saat itu, debat pun terjadi seputar apakah bumi mampu mendukung kehidupan begitu banyak manusia. Sebelum abad ke-17, populasi dunia tumbuh begitu lambat, namun kemudian melesat begitu pesat setelah tahun 1850. Hal ini sebagian diakibatkan oleh pengurangan jumlah anak-anak yang mati di usia bayi, dan juga menurunnya angka kematian secara keseluruhan dimana teknologi pertanian baru meningkatkan persediaan makanan dan menurunkan risiko kelaparan. Pertumbuhan industrialisasi yang begitu pesat dan kemajuan di bidang obat-obatan dan kedokteran meningkatkan kesehatan and standar hidup masyarakat. Memasuki tahun 1927, an